Dipenulisan saya kali ini saya ingin mengingatkan kembali tentang kejadian krisis ekonomi di Indonesia pada tahun 1997-1998
Awal Terjadinya
Krisis Ekonomi Yang Muncul Di Indonesia
Krisis pertama yang dialami
Indonesia masa orde baru adalah kondisi ekonomi yang sangat parah warisan orde
lama.Sebagian besar produksi terhenti dan laju pertumbuhan ekonomi selama
periode 1962-1966 kurang dari 2% yang mengakibatkan penurunan pendapatan per
kapita.Defisit anggaran belanja pemerintah yang sebagian besar dibiayai dengan
kredit dari BI meningkat tajam dari 63% dari penerimaan pemerintah tahun
1962 menjadi127% tahun 1966.Selain itu,buruknya perekonomian Indonesia masa
transisi juga disebabkan oleh besarnya defisit neraca perdagangan dan utang
luar negeri,yang kebanyakan diperoleh dari negara blok timur serta inflasi yang
sangat tinggi.Disamping itu,pengawasan devisa yang amat ketat menyebabkan nilai
tukar rupiah terhadap dollar AS naik dua atau tiga kali lipat.Akibatnya terjadi
kegiatan spekulatif dan pelarian modal ke luar negeri.Hal ini memperburuk
perekonomian Indonesia pada masa itu (Siregar,1987).
Krisis kedua adalah laju inflasi
yang tinggi pada tahun 1970-an.Hal ini disebabkan karena banyaknya jumlah uang
yang beredar dan krisis pangan akhir tahun 1972.Laju inflasi memuncak hingga
41% tahun 1974 (Hill,1974).Selain itu terjadi devaluasi rupiah sebesar 50% pada
November 1978.
Bulan September 1984,Indonesia
mengalami krisis perbankan,yang bermula dari deregulasi perbankan 1 Juni 1983
yang memaksa bank-bank negara untuk memobilisasi dana mereka dan memikul risiko
kredit macet,serta bebas untuk menentukan tingkat suku bunga,baik deposito
berjangka maupun kredit (Nasution,1987).Masalah-masalah tersebut terus
berlangsung hingga terjadi krisis ekonomi yang bermula pada tahun 1997
(Tambunan,1998).
Terakhir,antara tahun 1990-1995
ekonomi Indonesia beberapa kali mengalami gangguan dari waktu ke
waktu.Pertama,walaupun tidak menimbulkan suatu krisis yang besar,apresiasi
nilai tukar yen Jepang terhadap dollar AS sempat merepotkan Indonesia.Laju
pertumbuhan ekspor Indonesia sempat terancam menurun dan beban ULN dari
pemerintah Jepang meningkat dalam nilai dollar AS.Kedua,pada awal tahun
1994,perekonomian Indonesia cukup terganggu dengan adanya arus pembelian dollar
AS yang bersifat spekulatif karena beredar isu akan adanya devaluasi rupiah
(Tambunan,1998).
Sumber:
Tambunan (1998) pertukaran bath-dollar.
Dari tahun 1985 ke tahun 1995,
Ekonomi Thailand tumbuh rata-rata 9%. Pada 1996, dana hedge Amerika telah
menjual $400 juta mata uang Thai.Dari 1985 sampai 2 Juli 1997, baht dipatok 25
bath per dollar AS.Pada tanggal 14 dan tanggal 15 Mei 1997, nilai tukar bath
Thailand terhadap dolar AS mengalami goncangan akibat para investor asing
mengambil keputusan “jual”, karena tidak percaya lagi terhadap prospek
perekonomian dan ketidakstabilan politik Negara Thailand. Untuk mempertahankan
nilai tukar bath agar tidak jatuh terus, Thailand melakukan intervensi yang
didukung oleh Bank Sentral Singapura. Namun, pada tanggal 2 Juli 1997, Bank
Sentral Thailand mengumumkan bahwa nilai tukar bath dibebaskan dari ikatan dollar
AS dan meminta bantuan IMF. Pengumuman ini menyebabkan nilai bath terdepresiasi
sekitar 15-20% hingga mencapai nilai terendah, yakni 28,20 bath per dollar AS.
Pada 1997, sebenarnya kondisi ekonomi di Indonesia tampak jauh dari krisis.
Tidak seperti Thailand, tingkat inflasi Indonesia lebih rendah. Nilai tukar
rupiah terhadap dolar, menguat. Dalam kondisi ekonomi seperti itulah, banyak
perusahaan di Indonesia meminjam uang dalam bentuk dolar AS.
Krisis moneter yang terjadi di
Thailand ini, menyebabkan Indonesia dan beberapa negara Asia, seperti Filipina,
Korea dan Malaysia mengalami krisis keuangan. Ketika krisis melanda Thailand,
nilai baht terhadap dolar anjlok dan menyebabkan nilai dolar menguat. Penguatan
nilai tukar dolar berimbas ke rupiah. Sekitar bulan Juli 1997, di Indonesia
terjadi depresiasi nilai tukar rupiah, nilai rupiah terus merosot. Di bulan
Agustus 1997 nilai tukar rupiah terhadap dolar AS melemah dari Rp2.500,00
menjadi Rp2.650,00 per dolar AS. Sejak saat itu, posisi mata uang Indonesia mulai
tidak stabil. Padahal, pada saat itu hutang luar negeri Indonesia, baik swasta
maupun pemerintah, sudah sangat besar. Tatanan perbankan nasional kacau dan
cadangan devisa semakin menipis.Perusahaan yang tadinya banyak meminjam dolar
(ketika nilai tukar rupiah kuat terhadap dolar), kini sibuk memburu atau
membeli dolar untuk membayar bunga pinjaman mereka yang telah jatuh tempo, dan
harus dibayar dengan dolar. Nilai rupiah pun semakin jatuh lebih dalam lagi.
IMF datang dengan paket bantuan 23 milyar dolar, tapi tidak mampu memperbaiki
keadaan. Malahan akhirnya paket bantuan IMF itu, yang dalam penggunaannya
banyak terjadi penyelewengan, semakin menambah beban utang yang harus
ditanggung oleh rakyat Indonesia.
Penyebab Krisis Ekonomi Indonesia tahun
1997-1998 :
1.
Stok hutang luar negeri swasta yang
sangat besar dan umumnya berjangka pendek, telah menciptakan kondisi bagi
“ketidakstabilan”. Hal ini diperburuk oleh rasa percaya diri yang berlebihan,
bahkan cenderung mengabaikan, dari para menteri di bidang ekonomi maupun
masyarakat perbankan sendiri menghadapi besarnya serta persyaratan hutang
swasta tersebut.
Pemerintah selama ini selalu ekstra hati-hati dalam mengelola hutang
pemerintah (atau hutang publik lainnya), dan senantiasa menjaganya dalam batas-batas
yang dapat tertangani (manageable). Akan tetapi untuk hutang
yang dibuat oleh sektor swasta Indonesia, pemerintah sama sekali tidak memiliki
mekanisme pengawasan. Setelah krisis berlangsung, barulah disadari bahwa hutang
swasta tersebut benar -benar menjadi masalah yang serius. Antara tahun 1992
sampai dengan bulan Juli 1997, 85% dari penambahan hutang luar negeri Indonesia
berasal dari pinjaman swasta (World Bank, 1998). Hal ini mirip dengan yang
terjadi di negara-negara lain di Asia yang dilanda krisis. Dalam banyak hal,
boleh dikatakan bahwa negara telah menjadi korban dari keberhasilannya sendiri. Mengapa
demikian? Karena kreditur asing tentu bersemangat meminjamkan modalnya kepada
perusahaan-perusahaan (swasta) di negara yang memiliki inflasi rendah, memiliki
surplus anggaran, mempunyai tenaga kerja terdidik dalam jumlah besar, memiliki
sarana dan prasarana yang memadai, dan menjalankan sistem perdagangan terbuka.Daya
tarik dari “dynamic economies’” ini telah menyebabkan net capital inflows atau arus modal masuk (yang meliputi
hutang jangka panjang, penanaman modal asing, dan equity purchases) ke wilayah
Asia Pasifik meningkat dari US$25 milyar pada tahun 1990 menjadi lebih dari
US$110 milyar pada tahun 1996 (Greenspan 1997). Sayangnya, banyaknya modal yang
masuk tersebut tidak cukup dimanfaatkan untuk sektor-sektor yang produktif,
seperti pertanian atau industri, tetapi justru masuk ke pembiayaan konsumsi,
pasar modal, dan khusus bagi Indonesia dan Thailand, ke sektor perumahan (real
estate). Di sektor-sektor ini memang terjadi ledakan (boom)
karena sebagian dipengaruhi oleh arus modal masuk tadi, tetapi sebaliknya
kinerja ekspor yang selama ini menjadi andalan ekonominasional justru mengalami
perlambatan, akibat apresiasi nilai tukar yang terjadi, antara lain, karena
derasnya arus modal yang masuk itu.
Selain itu, hutang swasta tersebut banyak yang tidak dilandasi oleh
kelayakan ekonomi, tetapi lebih mengandalkan koneksi politik, dan seakan
didukung oleh persepsi bahwa negara akan ikut menanggung biaya apabila kelak
terjadi kegagalan. Lembaga keuangan membuat pinjaman
atas dasar perhitungan aset yang telah “digelembungkan” yang pada gilirannya
mendorong lagi terjadinya apresiasi lebih lanjut (Kelly and Olds 1999). Ini
adalah akibat dari sistem yang sering disebut sebagai “crony capitalism”. Moral hazard dan penggelembungan aset tersebut,
seperti dijelaskan oleh Krugman (1998), adalah suatu strategi “kalau untung aku
yang ambil, kalau rugi bukan aku yang tanggung (heads I win tails
somebody else loses)”. Di tengah pusaran (virtous circle) yang semakin hari makin membesar ini,
lembaga keuangan meminjam US dollar, tetapi menyalurkan pinjamannya dalam kurs
lokal (Radelet and Sachs 1998). Yang ikut memperburuk keadaan adalah batas
waktu pinjaman (maturity) hutang swasta tersebut rata-rata
makin pendek. Pada saat krisis terjadi, rata-rata batas waktu pinjaman sektor
swasta adalah 18 bulan, dan menjelang Desember 1997 jumlah hutang yang harus
dilunasi dalam tempo kurang dari satu tahun adalah sebesar US$20,7 milyar
(World Bank 1998).
2. Banyaknya kelemahan dalam sistem perbankan di Indonesia. Dengan
kelemahan sistemik perbankan tersebut, masalah hutang swasta eksternal langsung
beralih menjadi masalah perbankan dalam negeri. Ketika liberalisasi sistem perbankan diberlakukan pada pertengahan
tahun 1980-an, mekanisme pengendalian dan pengawasan dari pemerinth tidak
efektif dan tidak mampu mengikuti cepatnya pertumbuhan sektor perbankan.Yang lebih parah, hampir tidak ada penegakan hukum terhadap bank-bank
yang melanggar ketentuan, khususnya dalam kasus peminjaman ke kelompok
bisnisnya sendiri, konsentrasi pinjaman pada pihak tertentu, dan pelanggaran
kriteria layak kredit. Pada waktu yang bersamaan banyak sekali bank yang
sesunguhnya tidak bermodal cukup.
3. Hill (1999)
menulis bahwa banyaknya pihak yang memiliki vested interest dengan
intrik-intrik politiknya yang menyebar ke mana-mana telah menghambat atau
menghalangi gerak pemerintah, untuk mengambil tindakan tegas di tengah krisis.Jauh sebelum krisis terjadi, investor asing dan pelaku bisnis yang
bergerak di Indonesia selalu mengeluhkan kurangnya transparansi, dan lemahnya
perlindungan maupun kepastian hukum. Persoalan ini sering dikaitkan dengan
tingginya “biaya siluman” yang harus dikeluarkan bila orang
melakukan kegiatan bisnis di sini. Anehnya, selama Indonesia menikmati economic
boom persepsi negatif tersebut tidak terlalu menghambatekonomiIndonesia.Akan
tetapi begitu krisis menghantam, maka segala kelemahan itu muncul menjadi
penghalang bagi pemerintah untuk mampu mengendalikan krisis. Masalah ini
pulalah yang mengurangi kemampuan kelembagaan pemerintah untuk bertindak cepat,
adil, dan efektif. Akhirnya
semua itu berkembang menjadi “krisis kepercayaan” yang ternyata menjadi
penyebab paling utama dari segala masalah ekonomi yang dihadapi pada waktu itu.
Akibat krisis kepercayaan itu, modal yang dibawa lari ke luar tidak kunjung
kembali, apalagi modal baru.
4.
Perkembangan situasi politik telah makin menghangat akibat krisis
ekonomi, dan pada gilirannya memberbesar dampak krisis ekonomi itu sendiri.Faktor ini merupakan hal yang paling sulit diatasi. Kegagalan dalam
mengembalikan stabilitas sosial-politik telah mempersulit kinerja ekonomi dalam
mencapai momentum pemulihan secra mantap dan berkesinambungan.
Meskipun persoalan perbankan dan hutang swasta menjadi penyebab dari
krisis ekonomi, namun, kedua faktor yang disebut terakhir di atas adalah
penyebab lambatnya pemulihan krisis di Indonesia. Pemulihan ekonomi musykil,
bahkan tidak mungkin dicapai, tanpa pulihnya kepercayaan pasar, dan kepercayaan
pasar tidak mungkin pulih tanpa stabilitas politik dan adanya permerintahan
yang terpercaya (credible).
Krisis Rupiah Hingga Krisis Ekonomi
Indonesia merupakan salah satu
Negara di Asia yang mengalami krisis mata uang, kemudian disusul oleh krisis
moneter dan berakhir dengan krisis ekonomi yang besar. Seperti diungkapkan oleh
Haris (1998),
“Krisis
ekonomi yang dialami Indonesia sejak tahun 1997 adalah yang paling parah
sepanjang orde baru. Ditandai dengan merosotnya kurs rupiah terhadap dolar yang
luar biasa, serta menurunnya pendapatan per kapita bangsa kita yang sangat
drastis. Lebih jauh lagi, sejumlah pabrik dan industri yang bakal collaps atau
disita oleh kreditor menyusul utang sebagian pengusaha yang jatuh tempo pada
tahun 1998 tak lama lagi akan menghasilka ribuan pengngguran baru dengan
sederet persoalan sosial. Ekonom, dan politik yang baru pula”
Menurut Fischer (1998), sesungguhnya
pada masa kejayaan Negara-negara Asia Tenggara, krisis di beberapa negara,
seperti Thailand, Korea Selatan, dan Indonesia, sudah bisa diramalkan meski
waktunya tidak dapat dipastikan.Misalnya di Thailand dan Indonesia, defisit
neraca perdagangan terlalu besar dan terus meningkat setiap tahun, sementara
pasar properti dan pasar modal di dalam negeri berkembang pesat tanpa
terkendali. Selain itu, nilai tukar mata uang di dua Negara tersebut dipatok
terhadap dolar AS terlalu rendah yang mengakibatkan ada kecenderungan besar
dari dunia usaha didalam negeri untuk melakukan pinjaman luar negeri, sehingga
banyak perusahaan dan lembaga keuangan di negara-negara itu menjadi sangat
rentan terhadap risiko perubahan nilai tukar valuta asing. Dan yang terakhir
adalah aturan serta pengawasan keuangan oleh otoriter moneter di Thailand dan
Indonesia yang sangat longgar hingga kualitas pinjaman portfolio perbankan
sangat rendah.
Anggapan Fischer tersebut dapat
membantu untuk menentukan apakah krisis rupiah terjadi karena krisis bath
Thailand. Sementara menurut McLeod (1998), krisis rupiah di Indonesia
adalah hasil dari akumulasi kesalahan-kesalahan pemerintah dalam
kebijakan-kebijakan ekonominya selama orde baru, termasuk diantaranya kebijakan
moneter yang mempertahankan nilai tukar rupiah pada tingkat yang overvalued.
Krisis moneter yang terjadi di
Indonesia sejak awal Juli 1997, di akhir tahun itu telah berubah menjadi krisis
ekonomi. Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, menyebabkan
harga-harga naik drastis. Banyak perusahaan-perusahaan dan pabrik-pabrik yang
melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara besar-besaran. Jumlah
pengangguran meningkat dan bahan-bahan sembako semakin langka.Krisis ini tetap
terjadi, meskipun fundamental ekonomi Indonesia di masa lalu dipandang cukup
kuat dan disanjung-sanjung oleh Bank Dunia. Yang dimaksud fundamental ekonomi
yang kuat adalah pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, laju inflasi
terkendali, cadangan devisa masih cukup besar dan realisasi anggaran pemerintah
masih menunjukkan sedikit surplus.
Keterangan
|
1990
|
1991
|
1992
|
1993
|
1994
|
1995
|
1996
|
1997
|
Pertumbuhan ekonomi (%)
|
7,24
|
6,95
|
6,46
|
6,50
|
7,54
|
8,22
|
7,98
|
4,65
|
Tingkat Inflasi (%)
|
9,93
|
9,93
|
5,04
|
10,18
|
9,66
|
8,96
|
6,63
|
11,60
|
Neraca pembayaran (US$)
|
2,099
|
1,207
|
1,743
|
741
|
806
|
1,516
|
4,451
|
-10,021
|
Neraca perdagangan
|
5,352
|
4,801
|
7,022
|
8,231
|
7,901
|
6,533
|
5,948
|
12,964
|
Neraca berjalan
|
-3,24
|
-4,392
|
-3,122
|
-2,298
|
-2,96
|
-6,76
|
-7,801
|
-2,103
|
Neraca modal
|
4,746
|
5,829
|
18,111
|
17.972
|
4,008
|
10,589
|
10,989
|
-4,845
|
Pemerintah (neto)
|
633
|
1,419
|
12,752
|
12,753
|
307
|
336
|
-522
|
4,102
|
Swasta (neto)
|
3,021
|
2,928
|
3,582
|
3,216
|
1,593
|
5,907
|
5,317
|
-10,78
|
PMA (neto)
|
1,092
|
1,482
|
1,777
|
2,003
|
2,108
|
4,346
|
6,194
|
1,833
|
Cadangan devisa akhir tahun (US$)
|
8,661
|
9,868
|
11.611
|
12,352
|
13,158
|
14,674
|
19,125
|
17,427
|
(bulan impor nonmigas c&f)
|
4,7
|
4,8
|
5,4
|
5,4
|
5,0
|
4,3
|
5,2
|
4,5
|
Debt-service ratio (%)
|
30,9
|
32,0
|
31,6
|
33,8
|
30,0
|
33,7
|
33,0
|
|
Nilai tukar Des. (Rp/US$)
|
1,901
|
1,992
|
2,062
|
2,11
|
2,2
|
2,308
|
2,383
|
4.65
|
APBN* (Rp.milyar)
|
3,203
|
433
|
-551
|
-1,852
|
1,495
|
2,807
|
818
|
456
|
*Tahun anggaran
Sumber : BPS,Indikator ekonomi; Bank Indonesia,
Statistik Keuangan Indonesia;World Bank, Indonesia in Crisis, July 2, 1998
Menanggapi perkembangan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang mulai merosot
sejak bulan Mei 1997, pada bulan Juli 1997 BI melakukan empat kali intervensi
dengan memperlebar rentang intervensi. Namun pengaruhnya tidak banyak. Nilai
rupiah dalam dolar AS terus tertekan. Tanggal 13 Agustus 1997 rupiah mencapai
nilai terendah hingga saat itu, yakni dari Rp2.655,00 menjadi Rp2.682,00 per
dollar AS. BI akhirnya menghapuskan rentang intervensi dan pada akhirnya rupiah
turun ke Rp2.755,00 per dollar AS. Tetapi terkadang nilai rupiah juga mengalami
penguatan beberapa poin. Misalnya, pada bulan Maret 1988 nilai rupiah mencapai
Rp10.550,00 untuk satu dollar AS, walaupun sebelumnya, antara bulan Januari dan
Februari sempat menembus Rp11.000,00 rupiah per dollar AS. Selama periode
Agustus 1997-1998, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terendah terjadi pada
bulan Juli 1998, yakni mencapai nilai antara Rp14.000,00 dan Rp15.000,00 per
dollar AS. Sedangkan dari bulan September 1998 hingga Mei 1999, perkembangan
kurs rupiah terhadap dolar AS berada pada nilai antara Rp8.000,00 dan
Rp11.000,00 per dollar AS. Selama periode 1 Januari 1998 hingga 5 Agustus 1998,
depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS adalah yang paling tinggi
dibandingkan dengan mata uang-mata uang Negara-negara Asia lainnya yang juga
mengalami depresiasi terhadap dolar AS selama periode tersebut.
Perubahan Nilai Tukar Mata Uang
Beberapa Negara Asia : 30/6/97-8/5/98
Negara
|
US$/100 Uang lokal 6/30’97
|
12/31’97
|
Perubahan (%)
6/30-12/31
|
5/8’98
|
Perubahan (%)
1/1-5/8’98
|
Perubahan Kumulatif (%)
6/30’97-5/8’98
|
Thailand
|
4,05
|
2,08
|
-48,7
|
2,59
|
24,7
|
-36
|
Malaysia
|
39,53
|
25,70
|
-35,0
|
26,25
|
2,1
|
-33,6
|
Indonesia
|
0,04
|
0,02
|
-44,0
|
0,01
|
-53,0
|
-73,8
|
Filipina
|
3,79
|
2,51
|
-33,9
|
2,54
|
1,3
|
-33,0
|
Hongkong
|
12,90
|
12,90
|
0,0
|
12,90
|
0,0
|
0,0
|
Korea Selatan
|
0,11
|
0,06
|
-47,7
|
0,07
|
21,9
|
-36,2
|
Taiwan
|
3,60
|
3,06
|
-14,8
|
3,10
|
1,2
|
-13,8
|
Singapura
|
69,93
|
59,44
|
-15,0
|
61,80
|
4,0
|
-11,6
|
Sumber :Goldstein (1998)
Sebagai konsekuensinya, BI pada tanggal 14
Agustus 1997 terpaksa membebaskan nilai
tukar rupiah terhadap valuta asing. Dengan
demikian, BI tidak melakukan intervensilagi di pasar valuta asing, sehingga nilai
tukar ditentukan oleh kekuatan pasar.
Krisis Moneter
Suatu Negara Bisa Dilihat Dari
Banyaknya
modal asing yang masuk ke dalam sektor keuangan negara tersebut. Banjirnya
modal asing ke perbankan menandakan suatu negara sudah masuk ke dalam fase
pertama krisis keuangan.
Saat ini, Indonesia
sudah memasuki fase kedua yang mana modal asing masuk tidak lagi melalui
perbankan, tetapi juga sudah membanjiri pasar modal tanah air. Artinya, jika
investor asing suatu saat 'bermigrasi' dari Indonesia, bukan hal yang tidak
mungkin Indonesia akan menghadapi krisis moneter.
Sekitar 60% saham asing
yang beredar di pasar modal nasional dan surat berharga negara sudah 40%
dikuasai oleh asing. Begitu kata Kepala Departemen Pengembangan Kebijakan
Strategis Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Imansyah di Gedung A Bank Indonesia,
Jakarta, Jumat (27/2).
Angka tersebut sudah
seharusnya diwaspadai oleh pemerintah, mengingat Fed Rate tetap diprediksi
akan naik dan bisa berdampak pada 'berpindahnya' investor asing ke Negeri Paman
Sam tersebut. Imansyah menganjurkan pemerintah agar meningkatkan investasi di
sektor infrastruktur ketimbang sektor keuangan yang rawan terhadap krisis.
''Capital inflow
naik, tapi investasi infrastrukturnya tidak berubah. Kan seharusnya untuk
infrastruktur. Artinya, investasi lebih dominan di pasar uang. Itu yang harus
ekstra hati-hati. Kan faktor krisis bisa lewat eksternal, ya lewat Amerika itu
'' ujar Imansyah.
Sayangnya, tidak banyak
perbankan yang mau memberikan pinjaman untuk pembiayaan pembangunan
infrastruktur lantaran risikonya terlalu besar. Padahal, sudah semestinya
swasta dan perbankan mendukung investasi di sektor infrastruktur karena margin
keuntungan di bidang tersebut berprospek jangka panjang.
''Memang sektor
infrastruktur bagi perbankan bisa dibilang sektor yang risikonya tinggi karena
pengembaliannya jangka panjang sekali. Padahal, umumnya tingkatpengembalian di
bank 5 tahun, sedangkan di sektor infrastruktur 5 tahun mungkin tidak cukup.
Risiko 10 tahun-15 tahun itu sulit diprediksi,'' jelasnya.
Namun, ia masih sulit untuk
memprediksi krisis keuangan yang kemungkinan terjadi di Indonesia. ''Susah
diprediksi,'' cetusnya.
Director of Graduate
Study Regional Science Johnson Graduate School of Management Cornell University
Iwan J Azis mengatakan ada tiga fase sebuah negara dalam menuju krisis moneter.
Fase pertama, modal asing masuk lewat perbankan. Fase kedua, modal asing masuk
lewat pasar modal dan terakhir modal-modal asing tersebut keluar alias tidak
lagi berinvestasi. ''Itu bisa membuat goyang kan. Masuk lalu keluar,''
tuturnya.
Fed Rate
yang akan naik juga akan mempengaruhi kondisi perekonomian negara-negara di
Asia. Permasalahannya, lanjut Iwan, sudah ada beberapa negara yang sudah
mengantisipasi krisis moneter di negaranya.
' 'Contohnya
Korea Selatan yang menerapkan fee kalau ada modal asing yang masuk. Jadi
harus bayar. Supaya masuknya tidak kebanyakan. Kalo kebanyakan, lalu dibawa
keluar akan goyang,'' jelas Iwan.
Ketua Umum Perhimpunan
Bank-bank Umum Nasional (Perbanas) Sigit Pramono menyatakan yang perlu
diwaspadai oleh pemerintah adalah cara mengelola krisis yang mungkin terjadi
kapan saja. Pasalnya, otoritas yang mengatur jika krisis terjadi tidak lagi
hanya berada di tangan Bank Indonesia (BI), tetapi juga ada di tangan
OJK.''Dulu persoalan makro prudential dan mikro ada di tangan BI. Artinya, bank
diatur dan diawasi BI. Sekarang mikronya ada di OJK. Makronya di BI yang
menyangkut moneter. Ini adalah batu ujian bagaimana bangsa ini mengelola
krisis,'' kata Sigit.
Sigit menyarankan pemerintah, BI,
dan OJK untuk saling berkoordinasi sebelum krisis moneter terjadi. Ia pun
mendorong RUU Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) segera disahkan oleh
parlemen.
''Harus ada UU JPSK.
Kalau tidak, nanti begitu ada ancaman krisis, orang-orang yang mengambil
keputusan akan diadili lagi secara politis, secara pidana. Kita melihat
pengalaman 2008, dengan mengambil alih Bank Century,'' lanjutnya.
Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK
Rahmat Waluyanto menuturkan saat ini sudah sering dilakukan koordinasi antar
deputi dan pimpinan dalam lingkup BI, OJK, dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Koordinasi itu dilakukan untuk saling berbagi informasi terkait situasi pasar
dan respon pasar terhadap kebijakan otoritas yang ada.
Ia mengklaim koordinasi yang
dilakukan selama ini sudah merupakan bentuk antisipasi terhadap krisis moneter
yang tidak dapat diprediksi datangnya.
''Kita siap aja. Krisis itu bisa
karena faktor domestik atau internasional. Saling berkaitan. Yang penting semua
bersiap. Kita akan merumuskan kebijakan dalam rangka merespon kondisi market,''
imbuhnya
Mari kita bandingkan
dengan data historis pergerakan rupiah itu sendiri. Berikut ini tampilan
pergerakan rupiah dalam infografis.
Dampak
krisis ekonomiterhadap
perekonomian Indonesia
Sejak bulan Juli 1997, Indonesia mulai terkena imbas krisis moneter yang
menimpa dunia khususnya Asia Tenggara. Struktur ekonomi nasional Indonesia saat
itu masih lemah untuk mampu menghadapi krisis global tersebut.
Dampak negatif yang ditimbulkan antara lain :
1.
Kurs rupiah terhadap dollar AS melemah
pada tanggal 1 Agustus 1997, pemerintah melikuidasi 16 bank bermasalah pada
akhir tahun 1997, pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional
(BPPN) yang mengawasi 40 bank bermasalah lainnya dan mengeluarkan Kredit
Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) untuk membantu bank-bank bermasalah tersebut.
Namun kenyataannya terjadi manipulasi besar-besaran terhadap dana KLBI yang
murah tersebut.
2.
Kepercayaan
internasional terhadap Indonesia menurun, perusahaan milik Negara dan swasta
banyak yang tidak dapat membayar utang luar negeri yang akan dan telah jatuh
tempo, angka pemutusan hubungan kerja meningkat karena banyak perusahaan yang
melakukan efisiensi atau menghentikan kegiatannya, kesulitan menutup APBN,
biaya sekolah di luar negeri melonjak, laju inflasi yang tinggi, angka
kemiskinan meningkat dan persediaan barang nasional, khususnya Sembilan bahan
pokok di pasaran mulai menipis pada akhir tahun 1997. Akibatnya, harga-harga
barang naik tidak terkendali dan berarti biaya hidup semakin tinggi.
Selain memberi dampak negatif, krisis ekonomi juga
membawa dampak positifyaitu :
1.
Secara umum impor barang, termasuk
impor buah menurun tajam, perjalanan ke luar negeri dan pengiriman anak sekolah
ke luar negeri,kebalikannya arus masuk turis asing akan lebih besar,
meningkatkan ekspor khususnya di bidang pertanian, proteksi industri dalam
negeri meningkat, dan adanya perbaikan dalam neraca berjalan.
2.
Krisis ekonomi juga menciptakan
suatu peluang besar bagi Unit Kecil Menengah (UKM) dan Industri Skala Kecil (ISK),
yakni pertumbuhan jumlah unit usaha,jumlah pekerja atau pengusaha, munculnya
tawaran dari IMB untuk melakukan mitra usaha dengan ISK, peningkatan ekspor,
dan peningkatan pendapatan untuk kelompok menengah ke bawah.Namun secara
keseluruhan, dampak negatif dari jatuhnya nilai tukar rupiah masih lebih besar
dari dampak positifnya.
Kelemahan RI Ketika Terjadi Krisis Tahun 1997/1998
Salah satu kelemahan Indonesia saat terjadinya krisis 1997/1998 adalah
tidak adanya transparansi pengelolaan keuangan. Kala itu, tidak ada yang
mengetahui berapa besaran utang pemerintah maupun swasta.
Demikianlah
yang diungkapkan oleh Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo kepada
wartawan di kantornya, Jakarta, Jumat (6/9/2013)
"Di tahun 97/98 itu belum ada Undang-Undang (UU) keuangan negara
dan UU perbendaharaan negara, ditahun 97/98 itu kita nggak tahu besarannya
utang swasta. Itu kita nggak tahu utang pemerintah itu sebetulnya berapa,"
ungkap Agus.
Saat utang
tidak diketahui, tentunya berbahaya buat perekonomian. Sebab ketika utang jatuh
tempo di waktu yang sama, maka dimungkinkan mengganggu ketersediaan dolar
didalam negeri. Sehingga berujung pada pelemahan rupiah.
Berbeda
dengan sekarang, Agus menyatakan kondisi utang swasta dan pemerintah yang
transparan. Ini dapat membentu kepercayaan pasar terkait bagaimana pengelolaan
keuangan di Indonesia.
"Sekarang itu semuanya ada, utangnya pemerintah pusat berapa,
utangnya pemda berapa, utangnya BUMN berapa, majority profile-nya seperti apa,
currency-nya seperti apa kita tahu. Jadi yang ingin saya sampaikan ini adalah
masalah kepercayaan," pungkasnya.
Pelemahan Rupiah danKondisiEkonomi Indonesia SaatIni
Berdasarkan data dari
Bank Indonesia (BI), pada tanggal 14 Maret 2015, Rupiah ditutup di posisi
Rp13,191 per US Dollar, dan ini adalah posisi terendah bagi mata uang Rupiah
terhadap US Dollar sejak krisis moneter tahun 1998. Jadi meski penulis pribadi
dalam satu dua tahun terakhir ini berusaha untuk tutup mata terhadap
perkembangan ekonomi makro dan tetap fokus pada faktor fundamental perusahaan
dalam berinvestasi di pasar saham, namun hal ini mau tidak mau tetap kelihatan,
karena bahkan pada krisis global tahun 2008 sekalipun, posisi nilai tukar
Rupiah tidak pernah turun sampai serendah ini. Pada puncak krisis global tahun
2008, Rupiah hanya anjlok sampai Rp12,768 per US Dollar sebagai titik
terendahnya, sebelum kemudian segera balik lagi ke level normalnya yakni
Rp9,000-an per US Dollar.
Menariknya, kita tahu bahwa pada
tahun 1998 dan juga 2008, Indonesia sempat dilanda krisis ekonomi termasuk
bursa saham ketika itu juga hancur berantakan. Tetapi pada hari ini, meski
kondisi Rupiah tampak mengkhawatirkan namun kondisi perekonomian secara umum
tampak masih berjalan normal, dan IHSG juga justru malah sukses break new
high dalam beberapa bulan terakhir. Anda mungkin bertanya, sebenarnya Indonesia sedang dalam
kondisi krisis, baik-baik saja, apa gimana?
Nah, terkait hal ini, penulis hendak mengajak anda untuk flashback
ke tahun 2013 lalu, tepatnya pada tanggal 23 Agustus 2013, dimana
Pemerintah Indonesia ketika itu meluncurkan paket kebijakan ‘penyelamatan
ekonomi’, terutama untuk mengatasi gejolak pelemahan Rupiah yang ketika itu
sudah menembus Rp11,000 per USD. Sedikit mengingatkan, kondisi pasar saham
ketika itu berbanding terbalik dengan saat ini dimana IHSG terpuruk di level
4,200-an, atau anjlok lebih dari 1,000 poin dibanding posisi puncaknya pada
bulan Mei di tahun yang sama. Jadi boleh dibilang bahwa ‘problem’ yang dihadapi
Pemerintah ketika itu ada dua, yakni pelemahan Rupiah itu sendiri (yang
dikeluhkan para pelaku usaha riil), dan juga pelemahan IHSG (yang dikeluhkan
para investor dan pelaku pasar modal lainnya). Dan mungkin itu sebabnya
Presiden SBY ketika itu gerak cepat dengan meluncurkan paket kebijakan tadi,
karena beliau dihadapkan pada tekanan baik dari para pengusaha maupun investor
di pasar modal.
Problem yang
sesungguhnya yang dihadapi Indonesia ketika itu (tahun 2013) adalah:
1.
Perlambatan pertumbuhan ekonomi, Akibat
2.
Defisitnya neraca ekspor impor, yang disebabkan oleh
3.
Meningkatnya nilai
impor peralatan dan mesin-mesin industri karena pertumbuhan industri manufaktur
di dalam negeri
4.
Turunnya nilai ekspor
karena turunnya harga batubara, CPO, serta karet, yang merupakan tiga komoditas
utama ekspor Indonesia.
Pada tahun 2013, pertumbuhan ekonomi Indonesia memang
tercatat hanya 5.8%, alias turun signifikan dibanding puncaknya yakni 6.9% pada
tahun 2011. Jadi ketika Rupiah melemah sampai menembus Rp11,000 per Dollar,
maka itu adalah refleksi dari perlambatan pertumbuhan ekonomi tadi, dimana jika
fundamental perekonomian Indonesia melemah, maka Rupiah sebagai ‘saham
Indonesia’ juga akan turut melemah.
Berikut adalah empat poin utama dari paket kebijakan ala
Presiden SBY pada tahun 2013 lalu:
1. Pemberlakuan
potongan/pengurangan pajak bagi industri padat karya yang mampu mengekspor
minimal 30% produksinya
2. Ekspor
bijih mineral, yang sebelumnya dilarang sama sekali, sekarang dibolehkan
asalkan pihak perusahaan memenuhi syarat-syarat tertentu.
3. Meningkatkan
porsi penggunaan campuran biodiesel dalam solar, sehingga diharapkan akan
menekan impor bahan bakar minyak jenis solar, dan
4. Menaikkan
pajak untuk impor barang mewah, dari tadinya 75% menjadi maksimal 150%.
Berdasarkan keempat poin diatas, maka jelas sekali bahwa
tujuan Pemerintah ketika itu adalah untuk meningkatkan ekspor (poin 1 dan 2),
selagi diwaktu yang bersamaan menekan impor (poin 3 dan 4), sehingga defisit
perdagangan yang ketika itu terjadi diharapkan tidak akan terjadi lagi. Paket
kebijakan diatas masih menyentuh akar permasalahan dari defisit tersebut, yakni
penurunan harga komoditas CPO dan batubara yang merupakan andalan ekspor
Indonesia, dan peningkatan impor peralatan dan mesin-mesin industri. Dan
sayangnya bahkan sampai hari ini harga CPO dan batubara masih belum pulih
kembali. Alhasil, berdasarkan data ekspor impor terakhir dari BPS, sepanjang
tahun 2014 Indonesia masih mengalami defisit neraca ekspor impor sebesar US$
1.9 milyar. Kabar buruknya, angka pertumbuhan ekonomi juga terus turun hingga
sekarang tinggal 5.0% pada Kuartal III 2014, dimana jika trend-nya begini
terus, maka pada Kuartal berikutnya angka pertumbuhan ekonomi tersebut
kemungkinan bakal turun lagi.
Jadi ketika Rupiah sekarang sudah menembus Rp13,000 per
USD, maka sebenarnya kurang tepat jika dikatakan bahwa, ‘Rupiah melemah karena
seluruh mata uang di negara manapun juga sedang melemah terhadap US Dollar’,
karena faktanya perekonomian kita memang lagi ada problem, dimana problem ini
bukan terjadi baru-baru ini saja, melainkan sudah terjadi sejak dua atau tiga
tahun yang lalu. Kalau dikatakan bahwa kita sedang krisis ekonomi sih mungkin
agak berlebihan, tapi jika kondisi ini dibiarkan maka bukan tidak mungkin jika
krisis itu pada akhirnya akan benar-benar terjadi.
Problemnya adalah, terkait ‘akar permasalahan’ tadi,
Pemerintah tentunya tidak bisa mengendalikan harga komoditas di pasar
internasional, dan Pemerintah juga tidak bisa begitu saja menghentikan impor mesin-mesin
industri, karena itu akan mematikan industri itu sendiri (sehingga dalam hal
ini kita juga tidak bisa menyalahkan Pemerintah pada tahun 2013 lalu hanya
karena kebijakannya tidak ‘menyentuh akar permasalahan’, karena mungkin memang
hanya itu yang bisa dilakukan). Jadi pertanyaannya sekarang, mampukah
Pemerintah kali ini untuk mengeluarkan kebijakan yang, meski mungkin juga tidak
bisa secara langsung menyentuh akar permasalahan, namun paling tidak bisa lebih
efektif dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dan juga bisa dengan cepat
diimplementasikan? Contohnya:
1. Ekspor
terbesar Indonesia setelah migas, CPO, dan batubara, adalah ekspor alat-alat
listrik, karet, dan mesin-mesin mekanik. Jadi Pemerintah mungkin bisa
memberikan insentif tertentu pada perusahaan-perusahaan alat-alat listrik dan
mesin mekanik, agar mereka bisa meningkatkan nilai ekspor.
2. Ekspor
terbesar Indonesia hingga saat ini adalah migas, entah itu berbentuk minyak
mentah, gas, ataupun minyak olahan. However, nilai ekspor migas ini cenderung
turun dari tahun ke tahun, dari US$ 41.5 milyar pada tahun 2011, menjadi hanya
US$ 30.3 milyar pada 2014 (dan penyebabnya bukan karena semata penurunan harga
minyak dunia, mengingat rata-rata harga minyak pada tahun 2011 tercatat US$ 104
per barel, atau hanya sedikit lebih tinggi dibanding rata-rata tahun 2014 yakni
US$ 96 per barel). Jadi dalam hal ini Pemerintah melalui kementerian dan
badan-badan terkait mungkin bisa mendorong perusahaan-perusahaan minyak yang
beroperasi di tanah air, baik asing maupun lokal, untuk meningkatkan
produksinya.
3. Impor
terbesar Indonesia juga terletak di migas. Dan sayangnya meski nilai ekspor
migas terus turun dalam tiga tahun terakhir, namun nilai impor migas malah naik
terus. Jadi meski solusi yang ini sulit untuk bisa direalisasikan dalam waktu
dekat, namun Pemerintah harus segera merencanakan pembangunan kilang-kilang
pengolahan minyak di dalam negeri, agar kita tidak harus impor bensin dan solar
lagi, atau minimal dikurangi lah.
4. Memberikan
insentif bagi perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit agar mereka mau
mengembangkan industri hilir CPO, termasuk mengembangkan biodiesel, agar
Indonesia bisa mengekspor produk hilir CPO yang memiliki nilai tambah, dan juga
mengurangi impor solar (sebenarnya ini juga baru akan terasa manfaatnya dalam
jangka panjang. Tapi kalau implementasinya gak dimulai dari sekarang, maka mau
nunggu sampai kapan?)
5.
Diluar masalah defisit
neraca perdagangan, ingat pula bahwa pertumbuhan ekonomi tidak semata didorong
oleh meningkatnya ekspor dan menurunnya impor, melainkan juga didorong oleh
meningkatnya :
a.
Belanja pemerintah
b.
Konsumsi
c.
Investasi
Pemerintah tentunya punya banyak
opsi untuk meningkatkan ketiga hal tersebut,tinggal pilih yang mana yang bisa diimplementasikan dalam waktu dekat.
Setelah memperoleh tekanan dari publik terkait melemahnya
Rupiah, dalam waktu dekat ini Presiden Jokowi juga kemungkinan akan mengumumkan
paket kebijakan penyelamatan ekonomi. Kita lihat nanti, seperti apa paket
kebijakannya.
Lalu bagaimana dengan IHSG? Apakah ini artinya IHSG juga
bakal anjlok, mengingat seperti yang sudah dibahas diatas, perekonomian kita
memang tidak bisa dikatakan baik-baik saja? Dan jika IHSG nanti beneran anjlok,
maka dia akan turun sampai berapa? (ini pertanyaan yang sering sekali diajukan).
Seperti yang pernah dikatakan seorang teman, the future is not ours to see.
IHSG bisa naik dan turun kapan saja, dan kalau dia turun maka penurunannya juga
bisa sampai berapa saja. Namun yang bisa penulis sampaikan untuk saat ini
adalah bahwa kinerja para emiten di BEI sejauh ini masih cukup bagus, dan
valuasi IHSG masih belum terlalu mahal (masih lebih rendah dibanding ketika
IHSG mencapai posisi 5,250 pada bulan Mei 2013 lalu), meski juga sudah tidak
bisa dikatakan murah lagi. Jadi kalau asing masih terus masuk seperti sebulanan
terakhir, maka IHSG juga masih bisa naik karena dari sisi valuasi IHSG masih
memiliki ruang untuk naik lebih lanjut, selain karena masih ada sentimen
positif dari keluarnya laporan keuangan perusahaan serta pembagian dividen dalam
waktu satu dua bulanan kedepan.
Intinya meski dalam jangka waktu yang lebih panjang
penulis melihat bahwa IHSG pada akhirnya nanti akan turun untuk menyesuaikan
dengan fundamental ekonomi nasional, namun untuk saat ini IHSG masih punya
cukup banyak alasan untuk paling tidak bertahan di posisinya saat ini. Benar
atau tidak, kita lihat nanti.
Tantangan Indonesia Ketika Menghindari Krisis Ekonomi 97-98
Sejak pertengahan tahun ini pasar Emerging Market (EM)
mendapatkan tekanan, namun EM yang memiliki fundamental domestik lebih kuat
akhir-akhir ini mendapatkan kestabilan. Namun sebagian negara pasar negara
berkembang lainnya mengalami tekanan signifikan khususnya di Indonesia,
sentimen para investor semakin negatif akibat 4 tantangan utama, antara lain:
- Timpangnya defisit neraca berjalan
- Inflasi yang tinggi
- pelambatan pertumbuhan
- kerapuhan dari kepemilikan aset oleh asing
Konsekuensi nya mata uang Rupiah mengalami depresiasi
sebesar 8% sejak bulan Juli 2013, tidak terpengaruh oleh kenaikan BI rate
sebesar 75 basis point. Bagaimanapun terulangnya krisis 1997 - 1998 saat ini
masih kecil kemungkinannya, karena cukup banyak yang telah dipelajari oleh Asia
supaya kasus 1997 tidak terulang lagi.
Selanjutnya kami ekspektasikan dua tantangan pertama yang
disebutkan diatas (masalah defisit neraca &inflasi) akan dapat diatasi pada
semester kedua 2013. Defisit neraca berjalan setelah melebar ke level 4.4% dari
GDP pada Q2, kemungkinan akan menyusut di Q3 mencerminkan imbas positif dari
reformasi subsidi BBM yang baru diimplementasikan pada bulan Juni lalu. Jika
skenario nya CHina berhasil stabil, dikombinasi dengan outlook yang lebih
positif di AS, Eropa dan Jepang, maka laju ekspor Indonesia siap untuk bangkit.
Meski harga Minyak kelapa sawit dan batubara masih mengalami kontraksi, namun
ekspor minyak dan gas bumi ke Jepang yang mengkontribusi 10% dari total revenue
ekspor mulai menunjukkan sinyal pemulihan di Q2 setelah sepanjang tahun
mengalami kontraksi. Selain itu harga sektor penting lainnya seperti tekstil
dan logam lainnya mulai menunjukkan kestabilan.
Inflasi inti kemungkinan akan melambat setelah mencapai level puncak di bulan September, meskipun masih terbuka peluang adanya kenaikan inflasi utama pada semester pertama 2014. Namun belum cukup jelas apakah BI akan bereaksi pada inflasi utama atau inflasi inti. Pada periode Gubernur BI, Darmin Nasution, tampaknya inflasi inti lebih dipertimbangkan sebagai variable yang penting. Seperti terlihat pada grafik dibawah ini, tekanan inflasi inti mulai berkurang berkorelasi dengan penurunan money supply, di lain sisi kondisi disinflasi ini juga memberikan sinyal adanya pelambatan pertumbuhan. Meski terdapat bukti pelambatan permintaan domestik, hal ini masih dapat diimbangi dengan rebound pertumbuhan global di akhir 2013 hingga 2014. Dapat diestimasikan peningkatan pertumbuhan global sebesar 1% akan mendongkrak current account balance Indonesia sekitar 0.2%.
Inflasi inti kemungkinan akan melambat setelah mencapai level puncak di bulan September, meskipun masih terbuka peluang adanya kenaikan inflasi utama pada semester pertama 2014. Namun belum cukup jelas apakah BI akan bereaksi pada inflasi utama atau inflasi inti. Pada periode Gubernur BI, Darmin Nasution, tampaknya inflasi inti lebih dipertimbangkan sebagai variable yang penting. Seperti terlihat pada grafik dibawah ini, tekanan inflasi inti mulai berkurang berkorelasi dengan penurunan money supply, di lain sisi kondisi disinflasi ini juga memberikan sinyal adanya pelambatan pertumbuhan. Meski terdapat bukti pelambatan permintaan domestik, hal ini masih dapat diimbangi dengan rebound pertumbuhan global di akhir 2013 hingga 2014. Dapat diestimasikan peningkatan pertumbuhan global sebesar 1% akan mendongkrak current account balance Indonesia sekitar 0.2%.
Bank Indonesia pada Kamis minggu lalu menaikkan suku bunga acuan BI rate sebesar 50 basis poin. Untuk sesaat, langkah ini dapat menyelamatkan rupiah dari kejatuhan lebih parah. Bulan ini, nilai tukar rupiah terhadap dolar turun 9%, sementara pekan lalu 4,4%. Pasar saham pun turut stabil setelah anjlok lebih dari 20% dari titik tertingginya Mei silam.
Sebagian pelaku pasar mungkin masih meragukan apakah BI
memiliki leadership yang solid ketimbang hanya bereaksi. Pasalnya pada rapat
Dewan Gubernur 15 Agustus lalu, BI tidak menaikkan BI rate dan lebih memilih
pengetatan giro wajib minimum (GWM). Setelah pasar bereaksi negatif pada paket
kebijakan baru yang diumumkan MenKeu Chatib Basri, BI pun akhirnya berbalik
haluan pada rapat darurat Kamis. Di lain sisi, pengetatan kebijakan ini
mengindikasikan keseriusan BI untuk memprioritaskan kestabilan nilai tukar.
Jadwal rapat dewan gubernur berikutnya pada tanggal 12 September seharusnya
tidak akan terjadi kenaikan suku bunga lagi, dan kami ekspektasikan BI untuk
tetap menjaga suku bunga acuan stabil di 7% hingga akhir tahun 2013.
Bagaimanapun mengingat imbas negatif dari kenaikan suku bunga agresif pada
pelambatan momentum pertumbuhan, maka terdapat peluang perbalikan arah suku
bunga untuk diturunkan setidaknya pada semester pertama 2014, atau bisa datang
lebih cepat jika kondisi market sudah memungkinkan.
Sementara outlook defisit neraca perdagangan kemungkinan
menyusut kedepannya, pertumbuhan ekspor telah mencapai fase bottoming out
sehingga masih terbuka peluang perbaikan moderat dalam 2 hingga 3 triwulan
kedepan. Stabilitas pertumbuhan ini ditunjang oleh pemulihan ekonomi partner
dagang utama Indonesia, yakni AS, Jepang dan China yang di jangka pendek
kemungkinan akan menopang ekspor. Di lain sisi arus investasi asing (FDI) juga
masih solid diperkirakan stabil di kisaran $3 - $4 milyar per kwartal, yang
dapat mempersempit gap defisit neraca berjalan. Dimana hal ini akan memperbaiki
arus capital inflow sehingga mengurangi tekanan pada rupiah.
Selain itu, untuk mengurangi tekanan defisit, pemerintah
melonggarkan batasan kuota ekspor mineral yang diterapkan tahun lalu dengan 20%
pajak, namun hal ini kemungkinan belum dapat mendongkrak ekspor di jangka
pendek selama pajak yang tinggi masih berlaku. Sementara untuk menekan laju
impir, pemerintah menaikkan pajak barang mewah. Import kendaraan bermotor
memang sangat tinggi, namun masih ada potensi penurunan setelah kenaikan harga
BBM. Impor minyak kemungkinan jatuh secara gradual dibanding Q3, sehingga
menopang posisi current account. Namun penurunan volume impor tersebut terlihat
kurang efektif jika depresiasi Rupiah masih mengalami eskalasi karena hal
tersebut dapat meningkatkan biaya impor riil.
Kekhawatiran utama memang kerapuhan Indonesia dari faktor
eksternal mengingat tingginya kepemilikan asing pada pasar obligasi Indonesia
dan meningkatnya utang jangka pendek. Selama periode QE2 tahun 2009 dari The
Fed, Indonesia termasuk salah satu negara yang mendapatkan arus modal cukup
besar. Tercatat kepemilikan asing pada obligasi meningkat tajam pada periode
tersebut, mencapai 32% dari total outstanding pada akhir Q2, sementara 55% dari
surat berharga yang baru terbit di periode September 2012 hingga Juni 2013
masih dimiliki asing.
Oleh sebab itu efek eksternal masih dominan pada nilai tukar
Rupiah, khususnya isu tapering stimulus The Fed, setelah para pelaku pasar
global mulai bisa menerima situasi tapering, maka kondisi tersebut mungkin
tepat bagi BI untuk mulai menarik kembali siklus pengetatan moneter kemungkinan
di semester pertama 2014 setelah menaikkan suku bunga sebesar 125 basis point
hanya dalam 3 bulan. berdasarkan kondisi makro ini, maka dapat diekspektasikan
Rupiah cenderung mengalami depresiasi hingga akhir 2013, potensi mengalami
final spike ke kisaran 12500, sebelum akhirnya stabil di kisaran 10,800 -
11,000 di Q1 2014. Sementara indeks saham IHSG masih menjadi pasar yang paling
rapuh diantara pasar emerging market lainnya ditengah kondisi normalisasi
moneter The Fed, akibat valuasi yang tergolong cukup mahal, defisit neraca yang
cukup tinggi.
Adanya devaluasi mata uang Baht oleh pemerintah Thailand
pada tanggal 2 Juli 1997 sebagai akibat adanya kegiatan di pasar valuta asing,
khususnya dolar Amerika Serikat. Kemudian merambat ke Filipina, Malaysia dan
Indonesia.
Pada mulanya kurs dolar Amerika Serikat US$ 1 = Rp 2.400,-
menjadi US$ 1 = Rp 3.000,-. Kemudian naik terus (pada bulan Agustus –
November 1997) sampai menunjukan angka
US$1 = Rp 12.000,-. Berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini
Bank Indonesia antara lain dengan menaikkan suku bunga sertifikat Bank
Indonesia (SBI) sampai 30%, dengan harapan menurunkan inflasi. Namun kenyataan
dilapangan, bank-bank menaikan leading
rate (tingkat suku bunga kredit) karena cost
of loanable punds mengalami kenaikkan pada semua bank. Akibat lainnya
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) juga meningkat tajam, karena bank-bank
mengalami kesukaran likuiditasnya. Kondisi ini bahkan meningkatkan laju inflasi
dari 11,05% pada tahun 1997 menjadi 77,63% pada tahun 1998.
Krisis nilai tukar / krisis moneter merupakan pemicu awal
terjadinya krisis perbankan dan krisis ekonomi pada tahun 1997 diikuti oleh
krisis-krisis lainnya, karena kepercayaan masyarakat rendah dengan kondisi
sector perbankan yang rapuh. Hal ini terjadi karena kebijakan perbankan yang
sangat liberal. Sampai hamper satu decade setelah krisis perbankan masih tetap
menjadi bagian dari krisis ekonomi. Kondoso LDR (Loan to Deposit Ratio) perbankan masih rendah. Sepertiga bahkan
sampai 40% dana perbankan tidak bisa disalurkan sebagai kredit untuk usaha dan
bisnis. Dana perbankan banyak dimainkan untuk investasi bukan disektor riil.
Sebagai kebalikan aturan perbankan sebelum krisis, setelah krisis perbankan
dijerat dengan berbagai aturan yang sangat ketat, sehingga mengorbankan sector
riil. Kondisi sector industry akhirnya juga mengalami kemacetan. Akibat
selanjutnya tidak hanya krisis moneter, krisis perbankan dan krisis ekonomi
yang terjadi di Indonesia, tetapi juga diikuti krisis sosial, krisis
kepercayaan dan krisis polotik.
Seperti yang dikemukakan berbagai pengamat ekonomi (Lukman
Dendawijaya, 2003) krisis yang melanda Indonesia sejak Juli 1997 hingga tahun
2003 adalah sebagai berikut:
1.
Krisis Moneter, Indikatornya :
a. Depresiasi kurs rupiah terhadap
dolar Amerika Serikat
b. Neraca pembayaran (Balance of Payment) yang negative
c. L/C bank-bank nasional tidak
diterima oleh perbankan internasional
d. Uang beredar terus meningkat.
2.
Krisis Perbankan, Indikatornya :
a. Likuidasi bank ditutup
b. Pembentukan BPPN untuk menyehatkan
bank-bank
c. Bank beku operasi dan bank take over
d. Hutang luar negeri yang membengkak
e. Tingkat suku bunga SBI naik terus,
mulai 30%, 40% dan 45% jangka waktu 1 bulan
f. Tingkat suku bunga deposito bank
umum 45%, 55% dan 65% jangka waktu 1 bulan
g. Hutang bank dalam bentuk BLBI
melampaui 200%-500%.
3. Krisis Ekonomi,
Indikatornya :
a. Tingkat suku bunga pinjaman sangat
tinggi, hingga mencapai 70%
b. Stagnasi di sector riil
c. Tingkat inflasi sangat tinggi
(inflasi mencapai 24% dalam 3 bulan pertama tahun 1998)
d. PHK di berbagai sector riil.
4. Krisis Sosial,
Indikatornya :
a. Tingkat pengangguran meningkat
b. Penduduk dibawah garis kemiskinan
meningkat
c. Kerusuhan dan penjarahan
d. Kriminalitas meningkat.
5. Krisis Kepercayaan,
Indikatornya :
a. Kepercayaan pada pemerintah turun
drastic
b. Demonstrasi dan unjuk rasa mahasiswa
c. Hujatan terhadap presiden Soeharto
d. Tuntutan oleh mahasiswa, masyarakat
dan politisi.
6. Krisis Politik,
Indikatornya :
a. Terbentuknya partai-partai politik
baru
b. Demonstrasi dan unjuk rasa anti
pemerintah
c. Sinisme dan hujatan terhadap
kebijakan pemerintah
d. Pro dan kontra siding istimewa MPR.
Akankah
Terulang Krisis Ekonomi Indonesia Tahun 1997-1998 ?
Sebelum melihat kabar ekonomi mengenai
bagaimana prospek dan potensi terulangnya krisis seperti pada tahun 1997-1998,
ada baiknya kita melihat terlebih dahulu asal mula atau indikasi terjadinya
krisis pada tahun 1997-1998.
Krisis 1997 Bermula dari Thailand
Krisis finansial yang
melanda Asia pada tahun 97-98 bermula dari ulah spekulan terhadap mata uang
Thailand, yakni Baht. Pada bulan Mei 1997, Baht terkena serangan para spekulan,
namun pemerintah Thailand memutuskan untuk tidak akan mendevaluasi mata
uangnya.
Namun untuk
mempertahankan nilai mata uangnya, diperlukan cadangan devisa yang besar dan
cadangan devisa dari Thailand pada saat itu ternyata tidak kuat untuk mendukung
sistem mata uang “mengambang terkendali” yang dianut Thailand, sehingga pada
bulan Juli 1997 akhirnya pemerintah Thailand harus mengubah sistem mata uangnya
menjadi free-float market.
Pada akhirnya, mata
uang Thailand Baht terdevaluasi tajam terhadap US Dollar dan mencapai angka
terendah senilai 56 Baht per 1 USD pada bulan Januari 1998.
Hal inilah yang menjadi awal mula
krisis finansial di Thailand, yang pada akhirnya menyebar ke beberapa negara
Asia lainnya, salah satunya adalah Indonesia yang terkena imbasnya secara
sangat signifikan.
Spekulan Merajalela,
Indonesia Terancam
Saat ini, ulah spekulan
tampaknya kembali menampakkan dirinya, seiring dengan glontoran dana stimulus
secara besar-besaran oleh AS dalam rangka menanggulangi krisis pada tahun 2008
silam, negara-negara berkembang di Asia tidak terkecuali Indonesia telah
kebanjiran “hot money” atau “uang panas”.
Namun saat ini,
indikasi cukup kuat bahwa bank sentral AS akan mulai menarik program
stimulusnya, sehingga hal ini membuat para spekulan berbondong-bondong menarik
investasinya dari Indonesia. Ulah spekulan inilah yang akhirnya mengakibatkan
mata uang Rupiah terdevaluasi tajam saat ini.
Baru spekulasi saja,
Rupiah sudah tersungkur, apalagi jika The Fed nanti memang jadi melaksanakan
rencana penarikan program stimulusnya pada bulan September 2013 mendatang, maka
tidak menutup kemungkinan kalau nasib mata uang Rupiah akan cukup mengenaskan.
Hingga akhir bulan Agustus 2013 ini, nilai spot Rupiah saja sudah
diperdagangkan di kisaran Rp 10.945 per USD.
Layaknya seperti
Thailand pada tahun 1997, cadangan devisa dari Indonesia saat ini dinilai tidak
akan kuat untuk menopang pelemahan nilai tukar Rupiah secara terus menerus.
Dibulan Juni 2013 saja, cadangan devisa Indonesia sudah menurun ke bawah level
100 miliar USD dan di bulan Juli 2013 dilaporkan sudah menyusut hingga tersisa
sekitar 92 miliar USD.
Jika Rupiah terus
terdevaluasi, maka ekonomi
Indonesia akan kembali terancam dilanda
krisis, terutama perusahaan-perusahaan dalam negeri yang mempunyai utang yang
besar dalam bentuk US Dollar. Jika perusahaan-perusahaan tersebut pada akhirnya
banyak yang bangkrut, hal ini akan berakibat melonjaknya tingkat pengangguran
secara signifikan dan mengikis daya beli masyarakat.
Pada akhirnya, hal tersebut
berujung ke tidak berputarnya roda perekonomian, dengan kata lain terjadi
krisis ekonomi.
Sebagai informasi,
sebelum krisis tahun 1997 terjadi, nilai tukar Rupiah berada di kisaran 2600
Rupiah per USD. Krisis yang bermula dari Thailand ini akhirnya mengakibatkan
Rupiah jatuh hingga ke level 11.000 Rupiah per USD pada 9 Januari 1998, bahkan
nilai spot Rupiah sempat diperdagangkan pada kisaran 15.000 per USD pada paruh
pertama tahun 1998.
Krisis finansial ini
mengakibatkan Indonesia kehilangan hampir 14% dari GDP-nya di tahun 1998 dan
terjadi inflasi besar-besaran hingga mencapai 77% di tahun 1998.
Maka
kesimpulannya, sangat penting saat ini bagi pemerintah Indonesia untuk
menciptakan kebijakan-kebijakan yang efektif dalam rangka stabilisasi nilai
tukar Rupiah. Jika pemerintah Indonesia gagal mempertahankan Rupiah, seperti
Thailand pada tahun 1997 yang gagal mempertahankan mata uangnya, maka tidak
menutup kemungkinan krisis layaknya seperti tahun 1997-1998 bisa saja kembali
terjadi di tanah air.
Kebijakan-Kebijakan Pemerintah dan Peran IMF (International Monetary Fund) dalam Mengatasi Krisis Ekonomi
Pada awalnya pemerintah berusaha untuk menangani sendiri masalah krisis
ini. Namun setelah menyadari bahwa merosotnya nilai tukar rupiah terhadap
dollar AS tidak dapat dibendung sendiri,lebih lagi cadangan dollar AS di BI
sudah mulai menipis karena terus digunakan untuk meningkatkan kembali nilai
tukar rupiah, tanggal 8 Oktober1997 pemerintah resmi akan meminta bantuan
kepada IMF. Strategi pemulihan IMF dalam garis besarnya ialah mengembalikan
kepercayaan masyarakat dalam dan luar negeri terhadap kinerja ekonomi
Indonesia. Inti dari setiap program pemulihan ekonomi adalah restrukturisasi
sektor finansial (Fischer 1998b). Kemudian antara Indonesia dan IMF membuat
nota kesepakatan, terdiri atas 50 butir kebijakan mencakup ekonomi makro
(fiskal dan moneter), restrukturisasi sektor keuangan, dan reformasi
struktural, yang ditandatangani bersama.
Butir-butir dalam kebijakan fiskal meliputi, tetap menggunakan prinsip anggaran
berimbang, usaha-usaha untuk mengurangi pengeluaran, seperti menghilangkan
subsidi BBM dan listrik serta membatalkan sejumlah proyek infrastruktur besar,
dan yang terakhir meningkatkan pendapatan pemerintah dengan penangguhan PPN dan
fasilitas pajak serta bea cukai, mengenakan pajak tambahan terhadap bensin,
memperbaiki audit PPN dan memperbanyak objek pajak.
Namun kesepakatan itu gagal, karena syarat-syarat dari IMF dirasa berat oleh
Indonesia. Maka dari itu dilakukanlah negosiasi dan dihasilkan kesepakatan yang
ditandatangani 15 Januari 1998. Pokok-pokok dari program IMF itu antara lain,
kebijakan makro ekonomi yang terdiri dari kebijakan fiskal dan kebijakan
moneter serta nilai tukar, kemudian restrukturisasi sektor keuangan yang
terdiri dari program restrukturisasi bank dan memperkuat aspek hukum dan pengawasan
untuk perbankan, dan yang terakhir adalah reformasi structural yang terdiri
dari perdagangan luar negeri dan investasi, deregulasi dan swastanisasi, social
safety net dan lingkungan hidup.
Pelaksanaan kesepakatan kedua ini kembali menghadapi bebagai hambatan, kemudian
diadakan negosiasi ulang yang menghasilkan Supplementary Memorandum pada
tanggal 10 April 1998 yang terdiri atas 20 butir, 7 appendix dan satu matriks.
Strategi yang akan dilaksanakan adalah menstabilkan rupiah pada tingkat yang
sesuai dengan kekuatan ekonomi Indonesia, memperkuat dan mempercepat
restrukturisasi sistim perbankan, memperkuat implementasi reformasi struktural
untuk membangun ekonomi yang efisien dan berdaya saing, menyusun kerangka untuk
mengatasi masalah utang perusahaan swasta, dan yang terakhir adalah
mengembalikan pembelanjaan perdagangan pada keadaan yang normal, sehingga
ekspor bangkit kembali.
Sedangkan ke tujuh appendix itu
antara lain, kebijakan moneter dan suku bunga, pembangunan sektor perbankan,
bantua anggaran pemerintah untuk golongan lemah, reformasi BUMN dan
swastanisasi, reformasi structural, restrukturisasi utang swasta, dan hukum
kebangkrutan dan reformasi yuridis.
Analisa
Perekonomian Indonesia Tahun 2015
Saat
ini Indonesia kembali terancam mengalami krisis ekonomi. Bank sentral AS mulai
menarik program stimulusnya, sehingga para spekulan menarik kembali investornya
di Indonesia. Hal ini pasti akan memberikan dampak yang besar bagi perekonomian
Indonesia. Bayangkan saja, disaat nilai tukar rupiah sedang melemah saat ini,
dimana USD1 hampir mencapai Rp 11.000,- para investor beramai-ramai menarik
investasinya tentunya Indonesia akan menanggung nilai kurs yang cukup tinggi.
Apabila hal ini terus terjadi, maka perusahaan-perusahaan yang memiliki hutang
di luar negeri juga akan merasakan dampaknya. Jumlah hutang
perusahaan-perusahaan tersebut akan semakin membengkak. Alternatif yang diambil
untuk mengatasi masalah ini adalah dengan menutup usahanya sehingga menyebabkan
penambahan jumlah pengangguran di Indonesia. Maka dapat dipastikan,Indonesia
akan kembali mengalami krisis ekonomi seperti yang terjadi pada tahun 1997.
Krisis
ekonomi ini menyebabkan Indonesia harus mengeluarkan 14% GDP-nya untuk melunasi
hutang ke luar negeri.Padahal jika GDP yang hilang tersebut dimanfaatkan untuk
memperbaiki struktur ekonomi Indonesia,maka tentu saja akan akan kondisi
perekonomian Indonesia pada saat ini lebiha baik.
Kondisi
seperti ini tidak boleh terjadi secara berkesinambungan.Uang Negara selalu
dihabiskan untuk menutupi hutang diluar negeri yang jumlahnya terus
bertambah.Jika uang Negara selalu di alokasikan untuki menutupi
hutang,bagaimana dengan infrastruktur Indonesia yang masih sangat membutuhkan
perhatian dan perbaikan? Oleh sebab itu, pemerintah harus mebuat suatu
kebijakan-kebijakan baru untuk dapat mengatasi hutang-hutang tersebut.
Solusi-solusi
lain yang mungkin dapat diambil untuk mengurangi jumlah hutang diluar negeri
antara lain:
1. Meningkatkan
daya beli masyarakat melalui pemberdayaan pedesaan dan UMKN
2. Meningkatkan
pajak secara progresif terbadap barang impor dan barang mewah
3. Konsep
pembangunan yang berkesinambungan,berlanjut dan mengarah pada suatu titik
maksimal,dan melepaskan secara bertahap ketergantungan hutang diluar negeri.
4. Menciptakan
rasa 0bangga akan produksi dalam negeri dan berupaya untuk menggalakkan
barang-barang ekspor
Mengembangkan sumber
daya manusia berkualitas dan menempatkan kesejahteraan yang adil dan merata.Sumber:
http://www.pakartrading.com/2013/09/tantangan-indonesia-ketika-menghindari.html?m=1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar