friendly

fun

fun

Selasa, 28 April 2015

Kilas Balik Krisis Ekonomi 97-98


Dipenulisan saya kali ini saya ingin mengingatkan kembali tentang kejadian krisis ekonomi di Indonesia pada tahun 1997-1998

Awal Terjadinya Krisis Ekonomi Yang Muncul Di Indonesia
Krisis pertama yang dialami Indonesia masa orde baru adalah kondisi ekonomi yang sangat parah warisan orde lama.Sebagian besar produksi terhenti dan laju pertumbuhan ekonomi selama periode 1962-1966 kurang dari 2% yang mengakibatkan penurunan pendapatan per kapita.Defisit anggaran belanja pemerintah yang sebagian besar dibiayai dengan kredit dari BI meningkat tajam dari 63%  dari penerimaan pemerintah tahun 1962 menjadi127% tahun 1966.Selain itu,buruknya perekonomian Indonesia masa transisi juga disebabkan oleh besarnya defisit neraca perdagangan dan utang luar negeri,yang kebanyakan diperoleh dari negara blok timur serta inflasi yang sangat tinggi.Disamping itu,pengawasan devisa yang amat ketat menyebabkan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS naik dua atau tiga kali lipat.Akibatnya terjadi kegiatan spekulatif dan pelarian modal ke luar negeri.Hal ini memperburuk perekonomian Indonesia pada masa itu (Siregar,1987).
Krisis kedua adalah laju inflasi yang tinggi pada tahun 1970-an.Hal ini disebabkan karena banyaknya jumlah uang yang beredar dan krisis pangan akhir tahun 1972.Laju inflasi memuncak hingga 41% tahun 1974 (Hill,1974).Selain itu terjadi devaluasi rupiah sebesar 50% pada November 1978.
Bulan September 1984,Indonesia mengalami krisis perbankan,yang bermula dari deregulasi perbankan 1 Juni 1983 yang memaksa bank-bank negara untuk memobilisasi dana mereka dan memikul risiko kredit macet,serta bebas untuk menentukan tingkat suku bunga,baik deposito berjangka maupun kredit (Nasution,1987).Masalah-masalah tersebut terus berlangsung hingga terjadi krisis ekonomi yang bermula pada tahun 1997 (Tambunan,1998).
Terakhir,antara tahun 1990-1995 ekonomi Indonesia beberapa kali mengalami gangguan dari waktu ke waktu.Pertama,walaupun tidak menimbulkan suatu krisis yang besar,apresiasi nilai tukar yen Jepang terhadap dollar AS sempat merepotkan Indonesia.Laju pertumbuhan ekspor Indonesia sempat terancam menurun dan beban ULN dari pemerintah Jepang meningkat dalam nilai dollar AS.Kedua,pada awal tahun 1994,perekonomian Indonesia cukup terganggu dengan adanya arus pembelian dollar AS yang bersifat spekulatif karena beredar isu akan adanya devaluasi rupiah (Tambunan,1998).
Sumber: Tambunan (1998)  pertukaran bath-dollar.
Dari tahun 1985 ke tahun 1995, Ekonomi Thailand tumbuh rata-rata 9%. Pada 1996, dana hedge Amerika telah menjual $400 juta mata uang Thai.Dari 1985 sampai 2 Juli 1997, baht dipatok 25 bath per dollar AS.Pada tanggal 14 dan tanggal 15 Mei 1997, nilai tukar bath Thailand terhadap dolar AS mengalami goncangan akibat para investor asing mengambil keputusan “jual”, karena tidak percaya lagi terhadap prospek perekonomian dan ketidakstabilan politik Negara Thailand. Untuk mempertahankan nilai tukar bath agar tidak jatuh terus, Thailand melakukan intervensi yang didukung oleh Bank Sentral Singapura. Namun, pada tanggal 2 Juli 1997, Bank Sentral Thailand mengumumkan bahwa nilai tukar bath dibebaskan dari ikatan dollar AS dan meminta bantuan IMF. Pengumuman ini menyebabkan nilai bath terdepresiasi sekitar 15-20% hingga mencapai nilai terendah, yakni 28,20 bath per dollar AS. Pada 1997, sebenarnya kondisi ekonomi di Indonesia tampak jauh dari krisis. Tidak seperti Thailand, tingkat inflasi Indonesia lebih rendah. Nilai tukar rupiah terhadap dolar, menguat. Dalam kondisi ekonomi seperti itulah, banyak perusahaan di Indonesia meminjam uang dalam bentuk dolar AS.
Krisis moneter yang terjadi di Thailand ini, menyebabkan Indonesia dan beberapa negara Asia, seperti Filipina, Korea dan Malaysia mengalami krisis keuangan. Ketika krisis melanda Thailand, nilai baht terhadap dolar anjlok dan menyebabkan nilai dolar menguat. Penguatan nilai tukar dolar berimbas ke rupiah. Sekitar bulan Juli 1997, di Indonesia terjadi depresiasi nilai tukar rupiah, nilai rupiah terus merosot. Di bulan Agustus 1997 nilai tukar rupiah terhadap dolar AS melemah dari Rp2.500,00 menjadi Rp2.650,00 per dolar AS. Sejak saat itu, posisi mata uang Indonesia mulai tidak stabil. Padahal, pada saat itu hutang luar negeri Indonesia, baik swasta maupun pemerintah, sudah sangat besar. Tatanan perbankan nasional kacau dan cadangan devisa semakin menipis.Perusahaan yang tadinya banyak meminjam dolar (ketika nilai tukar rupiah kuat terhadap dolar), kini sibuk memburu atau membeli dolar untuk membayar bunga pinjaman mereka yang telah jatuh tempo, dan harus dibayar dengan dolar. Nilai rupiah pun semakin jatuh lebih dalam lagi. IMF datang dengan paket bantuan 23 milyar dolar, tapi tidak mampu memperbaiki keadaan. Malahan akhirnya paket bantuan IMF itu, yang dalam penggunaannya banyak terjadi penyelewengan, semakin menambah beban utang yang harus ditanggung oleh rakyat Indonesia.

Penyebab Krisis Ekonomi Indonesia tahun 1997-1998 :
1.      Stok hutang luar negeri swasta yang sangat besar dan umumnya berjangka pendek, telah menciptakan kondisi bagi “ketidakstabilan”. Hal ini diperburuk oleh rasa percaya diri yang berlebihan, bahkan cenderung mengabaikan, dari para menteri di bidang ekonomi maupun masyarakat perbankan sendiri menghadapi besarnya serta persyaratan hutang swasta tersebut.
Pemerintah selama ini selalu ekstra hati-hati dalam mengelola hutang pemerintah (atau hutang publik lainnya), dan senantiasa menjaganya dalam batas-batas yang dapat tertangani (manageable). Akan tetapi untuk hutang yang dibuat oleh sektor swasta Indonesia, pemerintah sama sekali tidak memiliki mekanisme pengawasan. Setelah krisis berlangsung, barulah disadari bahwa hutang swasta tersebut benar -benar menjadi masalah yang serius. Antara tahun 1992 sampai dengan bulan Juli 1997, 85% dari penambahan hutang luar negeri Indonesia berasal dari pinjaman swasta (World Bank, 1998). Hal ini mirip dengan yang terjadi di negara-negara lain di Asia yang dilanda krisis. Dalam banyak hal, boleh dikatakan bahwa negara telah menjadi korban dari keberhasilannya sendiri. Mengapa demikian? Karena kreditur asing tentu bersemangat meminjamkan modalnya kepada perusahaan-perusahaan (swasta) di negara yang memiliki inflasi rendah, memiliki surplus anggaran, mempunyai tenaga kerja terdidik dalam jumlah besar, memiliki sarana dan prasarana yang memadai, dan menjalankan sistem perdagangan terbuka.Daya tarik dari “dynamic economies’” ini telah menyebabkan net capital inflows atau arus modal masuk (yang meliputi hutang jangka panjang, penanaman modal asing, dan equity purchases) ke wilayah Asia Pasifik meningkat dari US$25 milyar pada tahun 1990 menjadi lebih dari US$110 milyar pada tahun 1996 (Greenspan 1997). Sayangnya, banyaknya modal yang masuk tersebut tidak cukup dimanfaatkan untuk sektor-sektor yang produktif, seperti pertanian atau industri, tetapi justru masuk ke pembiayaan konsumsi, pasar modal, dan khusus bagi Indonesia dan Thailand, ke sektor perumahan (real estate). Di sektor-sektor ini memang terjadi ledakan (boom) karena sebagian dipengaruhi oleh arus modal masuk tadi, tetapi sebaliknya kinerja ekspor yang selama ini menjadi andalan ekonominasional justru mengalami perlambatan, akibat apresiasi nilai tukar yang terjadi, antara lain, karena derasnya arus modal yang masuk itu.
Selain itu, hutang swasta tersebut banyak yang tidak dilandasi oleh kelayakan ekonomi, tetapi lebih mengandalkan koneksi politik, dan seakan didukung oleh persepsi bahwa negara akan ikut menanggung biaya apabila kelak terjadi kegagalan. Lembaga keuangan membuat pinjaman atas dasar perhitungan aset yang telah “digelembungkan” yang pada gilirannya mendorong lagi terjadinya apresiasi lebih lanjut (Kelly and Olds 1999). Ini adalah akibat dari sistem yang sering disebut sebagai “crony capitalism”. Moral hazard dan penggelembungan aset tersebut, seperti dijelaskan oleh Krugman (1998), adalah suatu strategi “kalau untung aku yang ambil, kalau rugi bukan aku yang tanggung (heads I win tails somebody else loses)”. Di tengah pusaran (virtous circle) yang semakin hari makin membesar ini, lembaga keuangan meminjam US dollar, tetapi menyalurkan pinjamannya dalam kurs lokal (Radelet and Sachs 1998). Yang ikut memperburuk keadaan adalah batas waktu pinjaman (maturity) hutang swasta tersebut rata-rata makin pendek. Pada saat krisis terjadi, rata-rata batas waktu pinjaman sektor swasta adalah 18 bulan, dan menjelang Desember 1997 jumlah hutang yang harus dilunasi dalam tempo kurang dari satu tahun adalah sebesar US$20,7 milyar (World Bank 1998).
2.      Banyaknya kelemahan dalam sistem perbankan di Indonesia. Dengan kelemahan sistemik perbankan tersebut, masalah hutang swasta eksternal langsung beralih menjadi masalah perbankan dalam negeri. Ketika liberalisasi sistem perbankan diberlakukan pada pertengahan tahun 1980-an, mekanisme pengendalian dan pengawasan dari pemerinth tidak efektif dan tidak mampu mengikuti cepatnya pertumbuhan sektor perbankan.Yang lebih parah, hampir tidak ada penegakan hukum terhadap bank-bank yang melanggar ketentuan, khususnya dalam kasus peminjaman ke kelompok bisnisnya sendiri, konsentrasi pinjaman pada pihak tertentu, dan pelanggaran kriteria layak kredit. Pada waktu yang bersamaan banyak sekali bank yang sesunguhnya tidak bermodal cukup.
3.      Hill (1999) menulis bahwa banyaknya pihak yang memiliki vested interest dengan intrik-intrik politiknya yang menyebar ke mana-mana telah menghambat atau menghalangi gerak pemerintah, untuk mengambil tindakan tegas di tengah krisis.Jauh sebelum krisis terjadi, investor asing dan pelaku bisnis yang bergerak di Indonesia selalu mengeluhkan kurangnya transparansi, dan lemahnya perlindungan maupun kepastian hukum. Persoalan ini sering dikaitkan dengan tingginya “biaya siluman” yang harus dikeluarkan bila orang melakukan kegiatan bisnis di sini. Anehnya, selama Indonesia menikmati economic boom persepsi negatif tersebut tidak terlalu menghambatekonomiIndonesia.Akan tetapi begitu krisis menghantam, maka segala kelemahan itu muncul menjadi penghalang bagi pemerintah untuk mampu mengendalikan krisis. Masalah ini pulalah yang mengurangi kemampuan kelembagaan pemerintah untuk bertindak cepat, adil, dan efektif. Akhirnya semua itu berkembang menjadi “krisis kepercayaan” yang ternyata menjadi penyebab paling utama dari segala masalah ekonomi yang dihadapi pada waktu itu. Akibat krisis kepercayaan itu, modal yang dibawa lari ke luar tidak kunjung kembali, apalagi modal baru.
4.      Perkembangan situasi politik telah makin menghangat akibat krisis ekonomi, dan pada gilirannya memberbesar dampak krisis ekonomi itu sendiri.Faktor ini merupakan hal yang paling sulit diatasi. Kegagalan dalam mengembalikan stabilitas sosial-politik telah mempersulit kinerja ekonomi dalam mencapai momentum pemulihan secra mantap dan berkesinambungan.
Meskipun persoalan perbankan dan hutang swasta menjadi penyebab dari krisis ekonomi, namun, kedua faktor yang disebut terakhir di atas adalah penyebab lambatnya pemulihan krisis di Indonesia. Pemulihan ekonomi musykil, bahkan tidak mungkin dicapai, tanpa pulihnya kepercayaan pasar, dan kepercayaan pasar tidak mungkin pulih tanpa stabilitas politik dan adanya permerintahan yang terpercaya (credible).

Krisis Rupiah Hingga Krisis Ekonomi
Indonesia merupakan salah satu Negara di Asia yang mengalami krisis mata uang, kemudian disusul oleh krisis moneter dan berakhir dengan krisis ekonomi yang besar. Seperti diungkapkan oleh Haris (1998), 
“Krisis ekonomi yang dialami Indonesia sejak tahun 1997 adalah yang paling parah sepanjang orde baru. Ditandai dengan merosotnya kurs rupiah terhadap dolar yang luar biasa, serta menurunnya pendapatan per kapita bangsa kita yang sangat drastis. Lebih jauh lagi, sejumlah pabrik dan industri yang bakal collaps atau disita oleh kreditor menyusul utang sebagian pengusaha yang jatuh tempo pada tahun 1998 tak lama lagi akan menghasilka ribuan pengngguran baru dengan sederet persoalan sosial. Ekonom, dan politik yang baru pula”
Menurut Fischer (1998), sesungguhnya pada masa kejayaan Negara-negara Asia Tenggara, krisis di beberapa negara, seperti Thailand, Korea Selatan, dan Indonesia, sudah bisa diramalkan meski waktunya tidak dapat dipastikan.Misalnya di Thailand dan Indonesia, defisit neraca perdagangan terlalu besar dan terus meningkat setiap tahun, sementara pasar properti dan pasar modal di dalam negeri berkembang pesat tanpa terkendali. Selain itu, nilai tukar mata uang di dua Negara tersebut dipatok terhadap dolar AS terlalu rendah yang mengakibatkan ada kecenderungan besar dari dunia usaha didalam negeri untuk melakukan pinjaman luar negeri, sehingga banyak perusahaan dan lembaga keuangan di negara-negara itu menjadi sangat rentan terhadap risiko perubahan nilai tukar valuta asing. Dan yang terakhir adalah aturan serta pengawasan keuangan oleh otoriter moneter di Thailand dan Indonesia yang sangat longgar hingga kualitas pinjaman portfolio perbankan sangat rendah.
Anggapan Fischer tersebut dapat membantu untuk menentukan apakah krisis rupiah terjadi karena krisis bath Thailand.  Sementara menurut McLeod (1998), krisis rupiah di Indonesia adalah hasil dari akumulasi kesalahan-kesalahan pemerintah dalam kebijakan-kebijakan ekonominya selama orde baru, termasuk diantaranya kebijakan moneter yang mempertahankan nilai tukar rupiah pada tingkat yang overvalued.
Krisis moneter yang terjadi di Indonesia sejak awal Juli 1997, di akhir tahun itu telah berubah menjadi krisis ekonomi. Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, menyebabkan harga-harga naik drastis. Banyak perusahaan-perusahaan dan pabrik-pabrik yang melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara besar-besaran. Jumlah pengangguran meningkat dan bahan-bahan sembako semakin langka.Krisis ini tetap terjadi, meskipun fundamental ekonomi Indonesia di masa lalu dipandang cukup kuat dan disanjung-sanjung oleh Bank Dunia. Yang dimaksud fundamental ekonomi yang kuat adalah pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, laju inflasi terkendali, cadangan devisa masih cukup besar dan realisasi anggaran pemerintah masih menunjukkan sedikit surplus.
Keterangan
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
Pertumbuhan ekonomi (%)
7,24
6,95
6,46
6,50
7,54
8,22
7,98
4,65
Tingkat Inflasi (%)
9,93
9,93
5,04
10,18
9,66
8,96
6,63
11,60
Neraca pembayaran (US$)
2,099
1,207
1,743
741
806
1,516
4,451
-10,021
Neraca perdagangan
5,352
4,801
7,022
8,231
7,901
6,533
5,948
12,964
Neraca berjalan
-3,24
-4,392
-3,122
-2,298
-2,96
-6,76
-7,801
-2,103
Neraca modal
4,746
5,829
18,111
17.972
4,008
10,589
10,989
-4,845
Pemerintah (neto)
633
1,419
12,752
12,753
307
336
-522
4,102
Swasta (neto)
3,021
2,928
3,582
3,216
1,593
5,907
5,317
-10,78
PMA (neto)
1,092
1,482
1,777
2,003
2,108
4,346
6,194
1,833
Cadangan devisa akhir tahun (US$)
8,661
9,868
11.611
12,352
13,158
14,674
19,125
17,427
(bulan impor nonmigas c&f)
4,7
4,8
5,4
5,4
5,0
4,3
5,2
4,5
Debt-service ratio (%)
30,9
32,0
31,6
33,8
30,0
33,7
33,0

Nilai tukar Des. (Rp/US$)
1,901
1,992
2,062
2,11
2,2
2,308
2,383
4.65
APBN* (Rp.milyar)
3,203
433
-551
-1,852
1,495
2,807
818
456
*Tahun anggaran
Sumber : BPS,Indikator ekonomi; Bank Indonesia, Statistik Keuangan Indonesia;World Bank, Indonesia in Crisis, July 2, 1998
            Menanggapi perkembangan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang mulai merosot sejak bulan Mei 1997, pada bulan Juli 1997 BI melakukan empat kali intervensi dengan memperlebar rentang intervensi. Namun pengaruhnya tidak banyak. Nilai rupiah dalam dolar AS terus tertekan. Tanggal 13 Agustus 1997 rupiah mencapai nilai terendah hingga saat itu, yakni dari Rp2.655,00 menjadi Rp2.682,00 per dollar AS. BI akhirnya menghapuskan rentang intervensi dan pada akhirnya rupiah turun ke Rp2.755,00 per dollar AS. Tetapi terkadang nilai rupiah juga mengalami penguatan beberapa poin. Misalnya, pada bulan Maret 1988 nilai rupiah mencapai Rp10.550,00 untuk satu dollar AS, walaupun sebelumnya, antara bulan Januari dan Februari sempat menembus Rp11.000,00 rupiah per dollar AS. Selama periode Agustus 1997-1998, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terendah terjadi pada bulan Juli 1998, yakni mencapai nilai antara Rp14.000,00 dan Rp15.000,00 per dollar AS. Sedangkan dari bulan September 1998 hingga Mei 1999, perkembangan kurs rupiah terhadap dolar AS berada pada nilai antara Rp8.000,00 dan Rp11.000,00 per dollar AS. Selama periode 1 Januari 1998 hingga 5 Agustus 1998, depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS adalah yang paling tinggi dibandingkan dengan mata uang-mata uang Negara-negara Asia lainnya yang juga mengalami depresiasi terhadap dolar AS selama periode tersebut.

Perubahan Nilai Tukar Mata Uang Beberapa Negara Asia : 30/6/97-8/5/98
Negara
US$/100 Uang lokal 6/30’97
12/31’97
Perubahan (%)
6/30-12/31
5/8’98
Perubahan (%)
1/1-5/8’98
Perubahan Kumulatif (%)
6/30’97-5/8’98
Thailand
4,05
2,08
-48,7
2,59
24,7
-36
Malaysia
39,53
25,70
-35,0
26,25
2,1
-33,6
Indonesia
0,04
0,02
-44,0
0,01
-53,0
-73,8
Filipina
3,79
2,51
-33,9
2,54
1,3
-33,0
Hongkong
12,90
12,90
0,0
12,90
0,0
0,0
Korea Selatan
0,11
0,06
-47,7
0,07
21,9
-36,2
Taiwan
3,60
3,06
-14,8
3,10
1,2
-13,8
Singapura
69,93
59,44
-15,0
61,80
4,0
-11,6
Sumber :Goldstein (1998)
Sebagai konsekuensinya, BI pada tanggal 14 Agustus 1997 terpaksa membebaskan nilai
tukar rupiah terhadap valuta asing. Dengan demikian, BI tidak melakukan intervensilagi di pasar valuta asing, sehingga nilai tukar ditentukan oleh kekuatan pasar.
                           
Krisis Moneter Suatu Negara Bisa Dilihat Dari
Banyaknya modal asing yang masuk ke dalam sektor keuangan negara tersebut. Banjirnya modal asing ke perbankan menandakan suatu negara sudah masuk ke dalam fase pertama krisis keuangan.
Saat ini, Indonesia sudah memasuki fase kedua yang mana modal asing masuk tidak lagi melalui perbankan, tetapi juga sudah membanjiri pasar modal tanah air. Artinya, jika investor asing suatu saat 'bermigrasi' dari Indonesia, bukan hal yang tidak mungkin Indonesia akan menghadapi krisis moneter.
Sekitar 60% saham asing yang beredar di pasar modal nasional dan surat berharga negara sudah 40% dikuasai oleh asing. Begitu kata Kepala Departemen Pengembangan Kebijakan Strategis Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Imansyah di Gedung A Bank Indonesia, Jakarta, Jumat (27/2).
Angka tersebut sudah seharusnya diwaspadai oleh pemerintah, mengingat Fed Rate tetap diprediksi akan naik dan bisa berdampak pada 'berpindahnya' investor asing ke Negeri Paman Sam tersebut. Imansyah menganjurkan pemerintah agar meningkatkan investasi di sektor infrastruktur ketimbang sektor keuangan yang rawan terhadap krisis.
''Capital inflow naik, tapi investasi infrastrukturnya tidak berubah. Kan seharusnya untuk infrastruktur. Artinya, investasi lebih dominan di pasar uang. Itu yang harus ekstra hati-hati. Kan faktor krisis bisa lewat eksternal, ya lewat Amerika itu '' ujar Imansyah.
Sayangnya, tidak banyak perbankan yang mau memberikan pinjaman untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur lantaran risikonya terlalu besar. Padahal, sudah semestinya swasta dan perbankan mendukung investasi di sektor infrastruktur karena margin keuntungan di bidang tersebut berprospek jangka panjang.
''Memang sektor infrastruktur bagi perbankan bisa dibilang sektor yang risikonya tinggi karena pengembaliannya jangka panjang sekali. Padahal, umumnya tingkatpengembalian di bank 5 tahun, sedangkan di sektor infrastruktur 5 tahun mungkin tidak cukup. Risiko 10 tahun-15 tahun itu sulit diprediksi,'' jelasnya.
Namun, ia masih sulit untuk memprediksi krisis keuangan yang kemungkinan terjadi di Indonesia. ''Susah diprediksi,'' cetusnya.
Director of Graduate Study Regional Science Johnson Graduate School of Management Cornell University Iwan J Azis mengatakan ada tiga fase sebuah negara dalam menuju krisis moneter. Fase pertama, modal asing masuk lewat perbankan. Fase kedua, modal asing masuk lewat pasar modal dan terakhir modal-modal asing tersebut keluar alias tidak lagi berinvestasi. ''Itu bisa membuat goyang kan. Masuk lalu keluar,'' tuturnya.
Fed Rate yang akan naik juga akan mempengaruhi kondisi perekonomian negara-negara di Asia. Permasalahannya, lanjut Iwan, sudah ada beberapa negara yang sudah mengantisipasi krisis moneter di negaranya.
'           'Contohnya Korea Selatan yang menerapkan fee kalau ada modal asing yang masuk. Jadi harus bayar. Supaya masuknya tidak kebanyakan. Kalo kebanyakan, lalu dibawa keluar akan goyang,'' jelas Iwan.
Ketua Umum Perhimpunan Bank-bank Umum Nasional (Perbanas) Sigit Pramono menyatakan yang perlu diwaspadai oleh pemerintah adalah cara mengelola krisis yang mungkin terjadi kapan saja. Pasalnya, otoritas yang mengatur jika krisis terjadi tidak lagi hanya berada di tangan Bank Indonesia (BI), tetapi juga ada di tangan OJK.''Dulu persoalan makro prudential dan mikro ada di tangan BI. Artinya, bank diatur dan diawasi BI.  Sekarang mikronya ada di OJK. Makronya di BI yang menyangkut moneter. Ini adalah batu ujian bagaimana bangsa ini mengelola krisis,'' kata Sigit.
Sigit menyarankan pemerintah, BI, dan OJK untuk saling berkoordinasi sebelum krisis moneter terjadi. Ia pun mendorong RUU Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) segera disahkan oleh parlemen.
''Harus ada UU JPSK. Kalau tidak, nanti begitu ada ancaman krisis, orang-orang yang mengambil keputusan akan diadili lagi secara politis, secara pidana. Kita melihat pengalaman 2008, dengan mengambil alih Bank Century,'' lanjutnya.
Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Rahmat Waluyanto menuturkan saat ini sudah sering dilakukan koordinasi antar deputi dan pimpinan dalam lingkup BI, OJK, dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Koordinasi itu dilakukan untuk saling berbagi informasi terkait situasi pasar dan respon pasar terhadap kebijakan otoritas yang ada.
Ia mengklaim koordinasi yang dilakukan selama ini sudah merupakan bentuk antisipasi terhadap krisis moneter yang tidak dapat diprediksi datangnya.
''Kita siap aja. Krisis itu bisa karena faktor domestik atau internasional. Saling berkaitan. Yang penting semua bersiap. Kita akan merumuskan kebijakan dalam rangka merespon kondisi market,'' imbuhnya
Mari kita bandingkan dengan data historis pergerakan rupiah itu sendiri. Berikut ini tampilan pergerakan rupiah dalam infografis.
Dampak krisis ekonomiterhadap perekonomian Indonesia
            Sejak bulan Juli 1997, Indonesia mulai terkena imbas krisis moneter yang menimpa dunia khususnya Asia Tenggara. Struktur ekonomi nasional Indonesia saat itu masih lemah untuk mampu menghadapi krisis global tersebut.
Dampak negatif yang ditimbulkan antara lain :
1.      Kurs rupiah terhadap dollar AS melemah pada tanggal 1 Agustus 1997, pemerintah melikuidasi 16 bank bermasalah pada akhir tahun 1997, pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang mengawasi 40 bank bermasalah lainnya dan mengeluarkan Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) untuk membantu bank-bank bermasalah tersebut. Namun kenyataannya terjadi manipulasi besar-besaran terhadap dana KLBI yang murah tersebut.
2.      Kepercayaan internasional terhadap Indonesia menurun, perusahaan milik Negara dan swasta banyak yang tidak dapat membayar utang luar negeri yang akan dan telah jatuh tempo, angka pemutusan hubungan kerja meningkat karena banyak perusahaan yang melakukan efisiensi atau menghentikan kegiatannya, kesulitan menutup APBN, biaya sekolah di luar negeri melonjak, laju inflasi yang tinggi, angka kemiskinan meningkat dan persediaan barang nasional, khususnya Sembilan bahan pokok di pasaran mulai menipis pada akhir tahun 1997. Akibatnya, harga-harga barang naik tidak terkendali dan berarti biaya hidup semakin tinggi.

Selain memberi dampak negatif, krisis ekonomi juga membawa dampak positifyaitu :

1.      Secara umum impor barang, termasuk impor buah menurun tajam, perjalanan ke luar negeri dan pengiriman anak sekolah ke luar negeri,kebalikannya arus masuk turis asing akan lebih besar, meningkatkan ekspor khususnya di bidang pertanian, proteksi industri dalam negeri meningkat, dan adanya perbaikan dalam neraca berjalan.
2.      Krisis ekonomi juga menciptakan suatu peluang besar bagi Unit Kecil Menengah (UKM) dan Industri Skala Kecil (ISK), yakni pertumbuhan jumlah unit usaha,jumlah pekerja atau pengusaha, munculnya tawaran dari IMB untuk melakukan mitra usaha dengan ISK, peningkatan ekspor, dan peningkatan pendapatan untuk kelompok menengah ke bawah.Namun secara keseluruhan, dampak negatif dari jatuhnya nilai tukar rupiah masih lebih besar dari dampak positifnya.

Kelemahan RI Ketika Terjadi Krisis Tahun 1997/1998
Salah satu kelemahan Indonesia saat terjadinya krisis 1997/1998 adalah tidak adanya transparansi pengelolaan keuangan. Kala itu, tidak ada yang mengetahui berapa besaran utang pemerintah maupun swasta.
Demikianlah yang diungkapkan oleh Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo kepada wartawan di kantornya, Jakarta, Jumat (6/9/2013)
"Di tahun 97/98 itu belum ada Undang-Undang (UU) keuangan negara dan UU perbendaharaan negara, ditahun 97/98 itu kita nggak tahu besarannya utang swasta. Itu kita nggak tahu utang pemerintah itu sebetulnya berapa," ungkap Agus.
Saat utang tidak diketahui, tentunya berbahaya buat perekonomian. Sebab ketika utang jatuh tempo di waktu yang sama, maka dimungkinkan mengganggu ketersediaan dolar didalam negeri. Sehingga berujung pada pelemahan rupiah.
Berbeda dengan sekarang, Agus menyatakan kondisi utang swasta dan pemerintah yang transparan. Ini dapat membentu kepercayaan pasar terkait bagaimana pengelolaan keuangan di Indonesia.
"Sekarang itu semuanya ada, utangnya pemerintah pusat berapa, utangnya pemda berapa, utangnya BUMN berapa, majority profile-nya seperti apa, currency-nya seperti apa kita tahu. Jadi yang ingin saya sampaikan ini adalah masalah kepercayaan," pungkasnya.

Pelemahan Rupiah danKondisiEkonomi Indonesia SaatIni

Berdasarkan data dari Bank Indonesia (BI), pada tanggal 14 Maret 2015, Rupiah ditutup di posisi Rp13,191 per US Dollar, dan ini adalah posisi terendah bagi mata uang Rupiah terhadap US Dollar sejak krisis moneter tahun 1998. Jadi meski penulis pribadi dalam satu dua tahun terakhir ini berusaha untuk tutup mata terhadap perkembangan ekonomi makro dan tetap fokus pada faktor fundamental perusahaan dalam berinvestasi di pasar saham, namun hal ini mau tidak mau tetap kelihatan, karena bahkan pada krisis global tahun 2008 sekalipun, posisi nilai tukar Rupiah tidak pernah turun sampai serendah ini. Pada puncak krisis global tahun 2008, Rupiah hanya anjlok sampai Rp12,768 per US Dollar sebagai titik terendahnya, sebelum kemudian segera balik lagi ke level normalnya yakni Rp9,000-an per US Dollar.
            Menariknya, kita tahu bahwa pada tahun 1998 dan juga 2008, Indonesia sempat dilanda krisis ekonomi termasuk bursa saham ketika itu juga hancur berantakan. Tetapi pada hari ini, meski kondisi Rupiah tampak mengkhawatirkan namun kondisi perekonomian secara umum tampak masih berjalan normal, dan IHSG juga justru malah sukses break new high dalam beberapa bulan terakhir. Anda mungkin bertanya, sebenarnya Indonesia sedang dalam kondisi krisis, baik-baik saja, apa gimana?
            Nah, terkait hal ini, penulis hendak mengajak anda untuk flashback  ke tahun 2013 lalu, tepatnya pada tanggal 23 Agustus 2013, dimana Pemerintah Indonesia ketika itu meluncurkan paket kebijakan ‘penyelamatan ekonomi’, terutama untuk mengatasi gejolak pelemahan Rupiah yang ketika itu sudah menembus Rp11,000 per USD. Sedikit mengingatkan, kondisi pasar saham ketika itu berbanding terbalik dengan saat ini dimana IHSG terpuruk di level 4,200-an, atau anjlok lebih dari 1,000 poin dibanding posisi puncaknya pada bulan Mei di tahun yang sama. Jadi boleh dibilang bahwa ‘problem’ yang dihadapi Pemerintah ketika itu ada dua, yakni pelemahan Rupiah itu sendiri (yang dikeluhkan para pelaku usaha riil), dan juga pelemahan IHSG (yang dikeluhkan para investor dan pelaku pasar modal lainnya). Dan mungkin itu sebabnya Presiden SBY ketika itu gerak cepat dengan meluncurkan paket kebijakan tadi, karena beliau dihadapkan pada tekanan baik dari para pengusaha maupun investor di pasar modal.
Problem yang sesungguhnya yang dihadapi Indonesia ketika itu (tahun 2013) adalah:
1.      Perlambatan pertumbuhan ekonomi, Akibat
2.      Defisitnya neraca ekspor impor, yang disebabkan oleh
3.      Meningkatnya nilai impor peralatan dan mesin-mesin industri karena pertumbuhan industri manufaktur di dalam negeri
4.      Turunnya nilai ekspor karena turunnya harga batubara, CPO, serta karet, yang merupakan tiga komoditas utama ekspor Indonesia.

            Pada tahun 2013, pertumbuhan ekonomi Indonesia memang tercatat hanya 5.8%, alias turun signifikan dibanding puncaknya yakni 6.9% pada tahun 2011. Jadi ketika Rupiah melemah sampai menembus Rp11,000 per Dollar, maka itu adalah refleksi dari perlambatan pertumbuhan ekonomi tadi, dimana jika fundamental perekonomian Indonesia melemah, maka Rupiah sebagai ‘saham Indonesia’ juga akan turut melemah.
            Berikut adalah empat poin utama dari paket kebijakan ala Presiden SBY pada tahun 2013 lalu:
1.      Pemberlakuan potongan/pengurangan pajak bagi industri padat karya yang mampu mengekspor minimal 30% produksinya
2.      Ekspor bijih mineral, yang sebelumnya dilarang sama sekali, sekarang dibolehkan asalkan pihak perusahaan memenuhi syarat-syarat tertentu.
3.      Meningkatkan porsi penggunaan campuran biodiesel dalam solar, sehingga diharapkan akan menekan impor bahan bakar minyak jenis solar, dan
4.      Menaikkan pajak untuk impor barang mewah, dari tadinya 75% menjadi maksimal 150%.

            Berdasarkan keempat poin diatas, maka jelas sekali bahwa tujuan Pemerintah ketika itu adalah untuk meningkatkan ekspor (poin 1 dan 2), selagi diwaktu yang bersamaan menekan impor (poin 3 dan 4), sehingga defisit perdagangan yang ketika itu terjadi diharapkan tidak akan terjadi lagi. Paket kebijakan diatas masih menyentuh akar permasalahan dari defisit tersebut, yakni penurunan harga komoditas CPO dan batubara yang merupakan andalan ekspor Indonesia, dan peningkatan impor peralatan dan mesin-mesin industri. Dan sayangnya bahkan sampai hari ini harga CPO dan batubara masih belum pulih kembali. Alhasil, berdasarkan data ekspor impor terakhir dari BPS, sepanjang tahun 2014 Indonesia masih mengalami defisit neraca ekspor impor sebesar US$ 1.9 milyar. Kabar buruknya, angka pertumbuhan ekonomi juga terus turun hingga sekarang tinggal 5.0% pada Kuartal III 2014, dimana jika trend-nya begini terus, maka pada Kuartal berikutnya angka pertumbuhan ekonomi tersebut kemungkinan bakal turun lagi.
            Jadi ketika Rupiah sekarang sudah menembus Rp13,000 per USD, maka sebenarnya kurang tepat jika dikatakan bahwa, ‘Rupiah melemah karena seluruh mata uang di negara manapun juga sedang melemah terhadap US Dollar’, karena faktanya perekonomian kita memang lagi ada problem, dimana problem ini bukan terjadi baru-baru ini saja, melainkan sudah terjadi sejak dua atau tiga tahun yang lalu. Kalau dikatakan bahwa kita sedang krisis ekonomi sih mungkin agak berlebihan, tapi jika kondisi ini dibiarkan maka bukan tidak mungkin jika krisis itu pada akhirnya akan benar-benar terjadi.
            Problemnya adalah, terkait ‘akar permasalahan’ tadi, Pemerintah tentunya tidak bisa mengendalikan harga komoditas di pasar internasional, dan Pemerintah juga tidak bisa begitu saja menghentikan impor mesin-mesin industri, karena itu akan mematikan industri itu sendiri (sehingga dalam hal ini kita juga tidak bisa menyalahkan Pemerintah pada tahun 2013 lalu hanya karena kebijakannya tidak ‘menyentuh akar permasalahan’, karena mungkin memang hanya itu yang bisa dilakukan). Jadi pertanyaannya sekarang, mampukah Pemerintah kali ini untuk mengeluarkan kebijakan yang, meski mungkin juga tidak bisa secara langsung menyentuh akar permasalahan, namun paling tidak bisa lebih efektif dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dan juga bisa dengan cepat diimplementasikan? Contohnya:
1.      Ekspor terbesar Indonesia setelah migas, CPO, dan batubara, adalah ekspor alat-alat listrik, karet, dan mesin-mesin mekanik. Jadi Pemerintah mungkin bisa memberikan insentif tertentu pada perusahaan-perusahaan alat-alat listrik dan mesin mekanik, agar mereka bisa meningkatkan nilai ekspor.
2.      Ekspor terbesar Indonesia hingga saat ini adalah migas, entah itu berbentuk minyak mentah, gas, ataupun minyak olahan. However, nilai ekspor migas ini cenderung turun dari tahun ke tahun, dari US$ 41.5 milyar pada tahun 2011, menjadi hanya US$ 30.3 milyar pada 2014 (dan penyebabnya bukan karena semata penurunan harga minyak dunia, mengingat rata-rata harga minyak pada tahun 2011 tercatat US$ 104 per barel, atau hanya sedikit lebih tinggi dibanding rata-rata tahun 2014 yakni US$ 96 per barel). Jadi dalam hal ini Pemerintah melalui kementerian dan badan-badan terkait mungkin bisa mendorong perusahaan-perusahaan minyak yang beroperasi di tanah air, baik asing maupun lokal, untuk meningkatkan produksinya.
3.      Impor terbesar Indonesia juga terletak di migas. Dan sayangnya meski nilai ekspor migas terus turun dalam tiga tahun terakhir, namun nilai impor migas malah naik terus. Jadi meski solusi yang ini sulit untuk bisa direalisasikan dalam waktu dekat, namun Pemerintah harus segera merencanakan pembangunan kilang-kilang pengolahan minyak di dalam negeri, agar kita tidak harus impor bensin dan solar lagi, atau minimal dikurangi lah.
4.      Memberikan insentif bagi perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit agar mereka mau mengembangkan industri hilir CPO, termasuk mengembangkan biodiesel, agar Indonesia bisa mengekspor produk hilir CPO yang memiliki nilai tambah, dan juga mengurangi impor solar (sebenarnya ini juga baru akan terasa manfaatnya dalam jangka panjang. Tapi kalau implementasinya gak dimulai dari sekarang, maka mau nunggu sampai kapan?)
5.      Diluar masalah defisit neraca perdagangan, ingat pula bahwa pertumbuhan ekonomi tidak semata didorong oleh meningkatnya ekspor dan menurunnya impor, melainkan juga didorong oleh meningkatnya :
a.       Belanja pemerintah
b.      Konsumsi
c.       Investasi
            Pemerintah tentunya punya banyak opsi untuk meningkatkan ketiga hal tersebut,tinggal pilih yang mana yang bisa diimplementasikan dalam waktu dekat.
            Setelah memperoleh tekanan dari publik terkait melemahnya Rupiah, dalam waktu dekat ini Presiden Jokowi juga kemungkinan akan mengumumkan paket kebijakan penyelamatan ekonomi. Kita lihat nanti, seperti apa paket kebijakannya.
            Lalu bagaimana dengan IHSG? Apakah ini artinya IHSG juga bakal anjlok, mengingat seperti yang sudah dibahas diatas, perekonomian kita memang tidak bisa dikatakan baik-baik saja? Dan jika IHSG nanti beneran anjlok, maka dia akan turun sampai berapa? (ini pertanyaan yang sering sekali diajukan). Seperti yang pernah dikatakan seorang teman, the future is not ours to see. IHSG bisa naik dan turun kapan saja, dan kalau dia turun maka penurunannya juga bisa sampai berapa saja. Namun yang bisa penulis sampaikan untuk saat ini adalah bahwa kinerja para emiten di BEI sejauh ini masih cukup bagus, dan valuasi IHSG masih belum terlalu mahal (masih lebih rendah dibanding ketika IHSG mencapai posisi 5,250 pada bulan Mei 2013 lalu), meski juga sudah tidak bisa dikatakan murah lagi. Jadi kalau asing masih terus masuk seperti sebulanan terakhir, maka IHSG juga masih bisa naik karena dari sisi valuasi IHSG masih memiliki ruang untuk naik lebih lanjut, selain karena masih ada sentimen positif dari keluarnya laporan keuangan perusahaan serta pembagian dividen dalam waktu satu dua bulanan kedepan.
            Intinya meski dalam jangka waktu yang lebih panjang penulis melihat bahwa IHSG pada akhirnya nanti akan turun untuk menyesuaikan dengan fundamental ekonomi nasional, namun untuk saat ini IHSG masih punya cukup banyak alasan untuk paling tidak bertahan di posisinya saat ini. Benar atau tidak, kita lihat nanti.

Tantangan Indonesia Ketika Menghindari Krisis Ekonomi 97-98
Sejak pertengahan tahun ini pasar Emerging Market (EM) mendapatkan tekanan, namun EM yang memiliki fundamental domestik lebih kuat akhir-akhir ini mendapatkan kestabilan. Namun sebagian negara pasar negara berkembang lainnya mengalami tekanan signifikan khususnya di Indonesia, sentimen para investor semakin negatif akibat 4 tantangan utama, antara lain:
  1. Timpangnya defisit neraca berjalan
  2. Inflasi yang tinggi
  3. pelambatan pertumbuhan
  4. kerapuhan dari kepemilikan aset oleh asing

Konsekuensi nya mata uang Rupiah mengalami depresiasi sebesar 8% sejak bulan Juli 2013, tidak terpengaruh oleh kenaikan BI rate sebesar 75 basis point. Bagaimanapun terulangnya krisis 1997 - 1998 saat ini masih kecil kemungkinannya, karena cukup banyak yang telah dipelajari oleh Asia supaya kasus 1997 tidak terulang lagi.
Selanjutnya kami ekspektasikan dua tantangan pertama yang disebutkan diatas (masalah defisit neraca &inflasi) akan dapat diatasi pada semester kedua 2013. Defisit neraca berjalan setelah melebar ke level 4.4% dari GDP pada Q2, kemungkinan akan menyusut di Q3 mencerminkan imbas positif dari reformasi subsidi BBM yang baru diimplementasikan pada bulan Juni lalu. Jika skenario nya CHina berhasil stabil, dikombinasi dengan outlook yang lebih positif di AS, Eropa dan Jepang, maka laju ekspor Indonesia siap untuk bangkit. Meski harga Minyak kelapa sawit dan batubara masih mengalami kontraksi, namun ekspor minyak dan gas bumi ke Jepang yang mengkontribusi 10% dari total revenue ekspor mulai menunjukkan sinyal pemulihan di Q2 setelah sepanjang tahun mengalami kontraksi. Selain itu harga sektor penting lainnya seperti tekstil dan logam lainnya mulai menunjukkan kestabilan.
Inflasi inti kemungkinan akan melambat setelah mencapai level puncak di bulan September, meskipun masih terbuka peluang adanya kenaikan inflasi utama pada semester pertama 2014. Namun belum cukup jelas apakah BI akan bereaksi pada inflasi utama atau inflasi inti. Pada periode Gubernur BI, Darmin Nasution, tampaknya inflasi inti lebih dipertimbangkan sebagai variable yang penting.  Seperti terlihat pada grafik dibawah ini, tekanan inflasi inti mulai berkurang berkorelasi dengan penurunan money supply, di lain sisi kondisi disinflasi ini juga memberikan sinyal adanya pelambatan pertumbuhan. Meski terdapat bukti pelambatan permintaan domestik, hal ini masih dapat diimbangi dengan rebound pertumbuhan global di akhir 2013 hingga 2014. Dapat diestimasikan peningkatan pertumbuhan global sebesar 1% akan mendongkrak current account balance Indonesia sekitar 0.2%.

Bank Indonesia pada Kamis minggu lalu menaikkan suku bunga acuan BI rate sebesar 50 basis poin. Untuk sesaat, langkah ini dapat menyelamatkan rupiah dari kejatuhan lebih parah. Bulan ini, nilai tukar rupiah terhadap dolar turun 9%, sementara pekan lalu 4,4%. Pasar saham pun turut stabil setelah anjlok lebih dari 20% dari titik tertingginya Mei silam.
Sebagian pelaku pasar mungkin masih meragukan apakah BI memiliki leadership yang solid ketimbang hanya bereaksi. Pasalnya pada rapat Dewan Gubernur 15 Agustus lalu, BI tidak menaikkan BI rate dan lebih memilih pengetatan giro wajib minimum (GWM). Setelah pasar bereaksi negatif pada paket kebijakan baru yang diumumkan MenKeu Chatib Basri, BI pun akhirnya berbalik haluan pada rapat darurat Kamis. Di lain sisi, pengetatan kebijakan ini mengindikasikan keseriusan BI untuk memprioritaskan kestabilan nilai tukar. Jadwal rapat dewan gubernur berikutnya pada tanggal 12 September seharusnya tidak akan terjadi kenaikan suku bunga lagi, dan kami ekspektasikan BI untuk tetap menjaga suku bunga acuan stabil di 7% hingga akhir tahun 2013. Bagaimanapun mengingat imbas negatif dari kenaikan suku bunga agresif pada pelambatan momentum pertumbuhan, maka terdapat peluang perbalikan arah suku bunga untuk diturunkan setidaknya pada semester pertama 2014, atau bisa datang lebih cepat jika kondisi market sudah memungkinkan.
Sementara outlook defisit neraca perdagangan kemungkinan menyusut kedepannya, pertumbuhan ekspor telah mencapai fase bottoming out sehingga masih terbuka peluang perbaikan moderat dalam 2 hingga 3 triwulan kedepan. Stabilitas pertumbuhan ini ditunjang oleh pemulihan ekonomi partner dagang utama Indonesia, yakni AS, Jepang dan China yang di jangka pendek kemungkinan akan menopang ekspor. Di lain sisi arus investasi asing (FDI) juga masih solid diperkirakan stabil di kisaran $3 - $4 milyar per kwartal, yang dapat mempersempit gap defisit neraca berjalan. Dimana hal ini akan memperbaiki arus capital inflow sehingga mengurangi tekanan pada rupiah.
Selain itu, untuk mengurangi tekanan defisit, pemerintah melonggarkan batasan kuota ekspor mineral yang diterapkan tahun lalu dengan 20% pajak, namun hal ini kemungkinan belum dapat mendongkrak ekspor di jangka pendek selama pajak yang tinggi masih berlaku. Sementara untuk menekan laju impir, pemerintah menaikkan pajak barang mewah. Import kendaraan bermotor memang sangat tinggi, namun masih ada potensi penurunan setelah kenaikan harga BBM. Impor minyak kemungkinan jatuh secara gradual dibanding Q3, sehingga menopang posisi current account. Namun penurunan volume impor tersebut terlihat kurang efektif jika depresiasi Rupiah masih mengalami eskalasi karena hal tersebut dapat meningkatkan biaya impor riil.
Kekhawatiran utama memang kerapuhan Indonesia dari faktor eksternal mengingat tingginya kepemilikan asing pada pasar obligasi Indonesia dan meningkatnya utang jangka pendek. Selama periode QE2 tahun 2009 dari The Fed, Indonesia termasuk salah satu negara yang mendapatkan arus modal cukup besar. Tercatat kepemilikan asing pada obligasi meningkat tajam pada periode tersebut, mencapai 32% dari total outstanding pada akhir Q2, sementara 55% dari surat berharga yang baru terbit di periode September 2012 hingga Juni 2013 masih dimiliki asing.
Oleh sebab itu efek eksternal masih dominan pada nilai tukar Rupiah, khususnya isu tapering stimulus The Fed, setelah para pelaku pasar global mulai bisa menerima situasi tapering, maka kondisi tersebut mungkin tepat bagi BI untuk mulai menarik kembali siklus pengetatan moneter kemungkinan di semester pertama 2014 setelah menaikkan suku bunga sebesar 125 basis point hanya dalam 3 bulan. berdasarkan kondisi makro ini, maka dapat diekspektasikan Rupiah cenderung mengalami depresiasi hingga akhir 2013, potensi mengalami final spike ke kisaran 12500, sebelum akhirnya stabil di kisaran 10,800 - 11,000 di Q1 2014. Sementara indeks saham IHSG masih menjadi pasar yang paling rapuh diantara pasar emerging market lainnya ditengah kondisi normalisasi moneter The Fed, akibat valuasi yang tergolong cukup mahal, defisit neraca yang cukup tinggi.
Adanya devaluasi mata uang Baht oleh pemerintah Thailand pada tanggal 2 Juli 1997 sebagai akibat adanya kegiatan di pasar valuta asing, khususnya dolar Amerika Serikat. Kemudian merambat ke Filipina, Malaysia dan Indonesia.
Pada mulanya kurs dolar Amerika Serikat US$ 1 = Rp 2.400,- menjadi US$ 1 = Rp 3.000,-. Kemudian naik terus (pada bulan Agustus – November  1997) sampai menunjukan angka US$1 = Rp 12.000,-. Berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini Bank Indonesia antara lain dengan menaikkan suku bunga sertifikat Bank Indonesia (SBI) sampai 30%, dengan harapan menurunkan inflasi. Namun kenyataan dilapangan, bank-bank menaikan leading rate (tingkat suku bunga kredit) karena cost of loanable punds mengalami kenaikkan pada semua bank. Akibat lainnya Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) juga meningkat tajam, karena bank-bank mengalami kesukaran likuiditasnya. Kondisi ini bahkan meningkatkan laju inflasi dari 11,05% pada tahun 1997 menjadi 77,63% pada tahun 1998.
Krisis nilai tukar / krisis moneter merupakan pemicu awal terjadinya krisis perbankan dan krisis ekonomi pada tahun 1997 diikuti oleh krisis-krisis lainnya, karena kepercayaan masyarakat rendah dengan kondisi sector perbankan yang rapuh. Hal ini terjadi karena kebijakan perbankan yang sangat liberal. Sampai hamper satu decade setelah krisis perbankan masih tetap menjadi bagian dari krisis ekonomi. Kondoso LDR (Loan to Deposit Ratio) perbankan masih rendah. Sepertiga bahkan sampai 40% dana perbankan tidak bisa disalurkan sebagai kredit untuk usaha dan bisnis. Dana perbankan banyak dimainkan untuk investasi bukan disektor riil. Sebagai kebalikan aturan perbankan sebelum krisis, setelah krisis perbankan dijerat dengan berbagai aturan yang sangat ketat, sehingga mengorbankan sector riil. Kondisi sector industry akhirnya juga mengalami kemacetan. Akibat selanjutnya tidak hanya krisis moneter, krisis perbankan dan krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia, tetapi juga diikuti krisis sosial, krisis kepercayaan dan krisis polotik.
Seperti yang dikemukakan berbagai pengamat ekonomi (Lukman Dendawijaya, 2003) krisis yang melanda Indonesia sejak Juli 1997 hingga tahun 2003 adalah sebagai berikut:
1.      Krisis Moneter, Indikatornya :
a.       Depresiasi kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat
b.      Neraca pembayaran (Balance of Payment) yang negative
c.       L/C bank-bank nasional tidak diterima oleh perbankan internasional
d.      Uang beredar terus meningkat.
2.      Krisis Perbankan, Indikatornya :
a.       Likuidasi bank ditutup
b.      Pembentukan BPPN untuk menyehatkan bank-bank
c.       Bank beku operasi dan bank take over
d.      Hutang luar negeri yang membengkak
e.       Tingkat suku bunga SBI naik terus, mulai 30%, 40% dan 45% jangka waktu 1 bulan
f.       Tingkat suku bunga deposito bank umum 45%, 55% dan 65% jangka waktu 1 bulan
g.      Hutang bank dalam bentuk BLBI melampaui 200%-500%.
3.   Krisis Ekonomi, Indikatornya :
a.       Tingkat suku bunga pinjaman sangat tinggi, hingga mencapai 70%
b.      Stagnasi di sector riil
c.       Tingkat inflasi sangat tinggi (inflasi mencapai 24% dalam 3 bulan pertama tahun 1998)
d.      PHK di berbagai sector riil.
4.  Krisis Sosial, Indikatornya :
a.       Tingkat pengangguran meningkat
b.      Penduduk dibawah garis kemiskinan meningkat
c.       Kerusuhan dan penjarahan
d.      Kriminalitas meningkat.
5.  Krisis Kepercayaan, Indikatornya :
a.       Kepercayaan pada pemerintah turun drastic
b.      Demonstrasi dan unjuk rasa mahasiswa
c.       Hujatan terhadap presiden Soeharto
d.      Tuntutan oleh mahasiswa, masyarakat dan politisi.
6.  Krisis Politik, Indikatornya :
a.       Terbentuknya partai-partai politik baru
b.      Demonstrasi dan unjuk rasa anti pemerintah
c.       Sinisme dan hujatan terhadap kebijakan pemerintah
d.      Pro dan kontra siding istimewa MPR.

Akankah Terulang Krisis Ekonomi Indonesia Tahun 1997-1998 ?
Sebelum melihat kabar ekonomi mengenai bagaimana prospek dan potensi terulangnya krisis seperti pada tahun 1997-1998, ada baiknya kita melihat terlebih dahulu asal mula atau indikasi terjadinya krisis pada tahun 1997-1998.
Krisis 1997 Bermula dari Thailand
Krisis finansial yang melanda Asia pada tahun 97-98 bermula dari ulah spekulan terhadap mata uang Thailand, yakni Baht. Pada bulan Mei 1997, Baht terkena serangan para spekulan, namun pemerintah Thailand memutuskan untuk tidak akan mendevaluasi mata uangnya.
Namun untuk mempertahankan nilai mata uangnya, diperlukan cadangan devisa yang besar dan cadangan devisa dari Thailand pada saat itu ternyata tidak kuat untuk mendukung sistem mata uang “mengambang terkendali” yang dianut Thailand, sehingga pada bulan Juli 1997 akhirnya pemerintah Thailand harus mengubah sistem mata uangnya menjadi free-float market.
Pada akhirnya, mata uang Thailand Baht terdevaluasi tajam terhadap US Dollar dan mencapai angka terendah senilai 56 Baht per 1 USD pada bulan Januari 1998.
Hal inilah yang menjadi awal mula krisis finansial di Thailand, yang pada akhirnya menyebar ke beberapa negara Asia lainnya, salah satunya adalah Indonesia yang terkena imbasnya secara sangat signifikan.
Spekulan Merajalela, Indonesia Terancam
Saat ini, ulah spekulan tampaknya kembali menampakkan dirinya, seiring dengan glontoran dana stimulus secara besar-besaran oleh AS dalam rangka menanggulangi krisis pada tahun 2008 silam, negara-negara berkembang di Asia tidak terkecuali Indonesia telah kebanjiran “hot money” atau “uang panas”.
Namun saat ini, indikasi cukup kuat bahwa bank sentral AS akan mulai menarik program stimulusnya, sehingga hal ini membuat para spekulan berbondong-bondong menarik investasinya dari Indonesia. Ulah spekulan inilah yang akhirnya mengakibatkan mata uang Rupiah terdevaluasi tajam saat ini.
Baru spekulasi saja, Rupiah sudah tersungkur, apalagi jika The Fed nanti memang jadi melaksanakan rencana penarikan program stimulusnya pada bulan September 2013 mendatang, maka tidak menutup kemungkinan kalau nasib mata uang Rupiah akan cukup mengenaskan. Hingga akhir bulan Agustus 2013 ini, nilai spot Rupiah saja sudah diperdagangkan di kisaran Rp 10.945 per USD.
Layaknya seperti Thailand pada tahun 1997, cadangan devisa dari Indonesia saat ini dinilai tidak akan kuat untuk menopang pelemahan nilai tukar Rupiah secara terus menerus. Dibulan Juni 2013 saja, cadangan devisa Indonesia sudah menurun ke bawah level 100 miliar USD dan di bulan Juli 2013 dilaporkan sudah menyusut hingga tersisa sekitar 92 miliar USD.
Jika Rupiah terus terdevaluasi, maka ekonomi Indonesia akan kembali terancam dilanda krisis, terutama perusahaan-perusahaan dalam negeri yang mempunyai utang yang besar dalam bentuk US Dollar. Jika perusahaan-perusahaan tersebut pada akhirnya banyak yang bangkrut, hal ini akan berakibat melonjaknya tingkat pengangguran secara signifikan dan mengikis daya beli masyarakat.
Pada akhirnya, hal tersebut berujung ke tidak berputarnya roda perekonomian, dengan kata lain terjadi krisis ekonomi.
Sebagai informasi, sebelum krisis tahun 1997 terjadi, nilai tukar Rupiah berada di kisaran 2600 Rupiah per USD. Krisis yang bermula dari Thailand ini akhirnya mengakibatkan Rupiah jatuh hingga ke level 11.000 Rupiah per USD pada 9 Januari 1998, bahkan nilai spot Rupiah sempat diperdagangkan pada kisaran 15.000 per USD pada paruh pertama tahun 1998.
Krisis finansial ini mengakibatkan Indonesia kehilangan hampir 14% dari GDP-nya di tahun 1998 dan terjadi inflasi besar-besaran hingga mencapai 77% di tahun 1998.
Maka kesimpulannya, sangat penting saat ini bagi pemerintah Indonesia untuk menciptakan kebijakan-kebijakan yang efektif dalam rangka stabilisasi nilai tukar Rupiah. Jika pemerintah Indonesia gagal mempertahankan Rupiah, seperti Thailand pada tahun 1997 yang gagal mempertahankan mata uangnya, maka tidak menutup kemungkinan krisis layaknya seperti tahun 1997-1998 bisa saja kembali terjadi di tanah air.

Kebijakan-Kebijakan Pemerintah dan Peran IMF (International Monetary Fund) dalam Mengatasi Krisis Ekonomi
            Pada awalnya pemerintah berusaha untuk menangani sendiri masalah krisis ini. Namun setelah menyadari bahwa merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS tidak dapat dibendung sendiri,lebih lagi cadangan dollar AS di BI sudah mulai menipis karena terus digunakan untuk meningkatkan kembali nilai tukar rupiah, tanggal 8 Oktober1997 pemerintah resmi akan meminta bantuan kepada IMF. Strategi pemulihan IMF dalam garis besarnya ialah mengembalikan kepercayaan masyarakat dalam dan luar negeri terhadap kinerja ekonomi Indonesia. Inti dari setiap program pemulihan ekonomi adalah restrukturisasi sektor finansial (Fischer 1998b). Kemudian antara Indonesia dan IMF membuat nota kesepakatan, terdiri atas 50 butir kebijakan mencakup ekonomi makro (fiskal dan moneter), restrukturisasi sektor keuangan, dan reformasi struktural, yang ditandatangani bersama.
            Butir-butir dalam kebijakan fiskal meliputi, tetap menggunakan prinsip anggaran berimbang, usaha-usaha untuk mengurangi pengeluaran, seperti menghilangkan subsidi BBM dan listrik serta membatalkan sejumlah proyek infrastruktur besar, dan yang terakhir meningkatkan pendapatan pemerintah dengan penangguhan PPN dan fasilitas pajak serta bea cukai, mengenakan pajak tambahan terhadap bensin, memperbaiki audit PPN dan memperbanyak objek pajak.
            Namun kesepakatan itu gagal, karena syarat-syarat dari IMF dirasa berat oleh Indonesia. Maka dari itu dilakukanlah negosiasi dan dihasilkan kesepakatan yang ditandatangani 15 Januari 1998. Pokok-pokok dari program IMF itu antara lain, kebijakan makro ekonomi yang terdiri dari kebijakan fiskal dan kebijakan moneter serta nilai tukar, kemudian restrukturisasi sektor keuangan yang terdiri dari program restrukturisasi bank dan memperkuat aspek hukum dan pengawasan untuk perbankan, dan yang terakhir adalah reformasi structural yang terdiri dari perdagangan luar negeri dan investasi, deregulasi dan swastanisasi, social safety net dan lingkungan hidup.
            Pelaksanaan kesepakatan kedua ini kembali menghadapi bebagai hambatan, kemudian diadakan negosiasi ulang yang menghasilkan Supplementary Memorandum pada tanggal 10 April 1998 yang terdiri atas 20 butir, 7 appendix dan satu matriks. Strategi yang akan dilaksanakan adalah menstabilkan rupiah pada tingkat yang sesuai dengan kekuatan ekonomi Indonesia, memperkuat dan mempercepat restrukturisasi sistim perbankan, memperkuat implementasi reformasi struktural untuk membangun ekonomi yang efisien dan berdaya saing, menyusun kerangka untuk mengatasi masalah utang perusahaan swasta, dan yang terakhir adalah mengembalikan pembelanjaan perdagangan pada keadaan yang normal, sehingga ekspor bangkit kembali.
Sedangkan ke tujuh appendix itu antara lain, kebijakan moneter dan suku bunga, pembangunan sektor perbankan, bantua anggaran pemerintah untuk golongan lemah, reformasi BUMN dan swastanisasi, reformasi structural, restrukturisasi utang swasta, dan hukum kebangkrutan dan reformasi yuridis.

Analisa Perekonomian Indonesia Tahun 2015
Saat ini Indonesia kembali terancam mengalami krisis ekonomi. Bank sentral AS mulai menarik program stimulusnya, sehingga para spekulan menarik kembali investornya di Indonesia. Hal ini pasti akan memberikan dampak yang besar bagi perekonomian Indonesia. Bayangkan saja, disaat nilai tukar rupiah sedang melemah saat ini, dimana USD1 hampir mencapai Rp 11.000,- para investor beramai-ramai menarik investasinya tentunya Indonesia akan menanggung nilai kurs yang cukup tinggi. Apabila hal ini terus terjadi, maka perusahaan-perusahaan yang memiliki hutang di luar negeri juga akan merasakan dampaknya. Jumlah hutang perusahaan-perusahaan tersebut akan semakin membengkak. Alternatif yang diambil untuk mengatasi masalah ini adalah dengan menutup usahanya sehingga menyebabkan penambahan jumlah pengangguran di Indonesia. Maka dapat dipastikan,Indonesia akan kembali mengalami krisis ekonomi seperti yang terjadi pada tahun 1997.
Krisis ekonomi ini menyebabkan Indonesia harus mengeluarkan 14% GDP-nya untuk melunasi hutang ke luar negeri.Padahal jika GDP yang hilang tersebut dimanfaatkan untuk memperbaiki struktur ekonomi Indonesia,maka tentu saja akan akan kondisi perekonomian Indonesia pada saat ini lebiha baik.
Kondisi seperti ini tidak boleh terjadi secara berkesinambungan.Uang Negara selalu dihabiskan untuk menutupi hutang diluar negeri yang jumlahnya terus bertambah.Jika uang Negara selalu di alokasikan untuki menutupi hutang,bagaimana dengan infrastruktur Indonesia yang masih sangat membutuhkan perhatian dan perbaikan? Oleh sebab itu, pemerintah harus mebuat suatu kebijakan-kebijakan baru untuk dapat mengatasi hutang-hutang tersebut.
Solusi-solusi lain yang mungkin dapat diambil untuk mengurangi jumlah hutang diluar negeri antara lain:
1.      Meningkatkan daya beli masyarakat melalui pemberdayaan pedesaan dan UMKN
2.      Meningkatkan pajak secara progresif terbadap barang impor dan barang mewah
3.      Konsep pembangunan yang berkesinambungan,berlanjut dan mengarah pada suatu titik maksimal,dan melepaskan secara bertahap ketergantungan hutang diluar negeri.
4.      Menciptakan rasa 0bangga akan produksi dalam negeri dan berupaya untuk menggalakkan barang-barang ekspor
Mengembangkan sumber daya manusia berkualitas dan menempatkan kesejahteraan yang adil dan merata.


Sumber:

http://www.pakartrading.com/2013/09/tantangan-indonesia-ketika-menghindari.html?m=1

Note: Penulisan ini merupakan tugas kelompok untuk mata kuliah Perekonomian Indonesia
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar