Pengertian Hukum Adat
Hukum
adat didefinisikan sebagai suatu aturan atau kebiasaan beserta norma-norma yang
berlaku di suatu wilayah tertentu dan dianut oleh sekelompok orang di wilayah
tersebut sebagai sumber hukum.
Jika
berbicara tentang hukum adat yang ada di Indonesia, mungkin tidak ada matinya.
Kenapa? Karena adat yang ada di Indonesia mencapai ratusan. Indonesia mempunyai
banyak sekali suku yang memegang dan percaya pada hukum adat mereka
masing-masing. Meskipun pada akhirnya sebagian besar hukum adat digantikan oleh
hukum perundang-undangan yang dibentuk oleh negara, namun masih banyak
masyarakat yang tetap menganut hukum adat. Berikut adalah contoh hukum adat
daerah yang ada di Indonesia.
Contoh Hukum Adat Papua
Hukum
adat di papua lebih dihormati daripada hukum nasional. Sehingga meskipun suatu
peristiwa telah diproses sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, masyarakat
akan tetap meminta untuk memberlakukan hukum adat.
Contoh
hukum adat di Papua yang diberlakukan ketika seseorang membunuh orang lain dalam
sebuah kecelakaan lalu lintas, maka akan diminta mengganti kerugian yang berupa
uang dan juga ternak babi. Tak cukup sampai disitu saja karena jumlah uang dan
juga ternak babi yang diminta adalah jumlah yang relatif besar sehingga
benar-benar memberatkan sang pelaku. Hukum adat ini adalah hukum yang sudah
turun-temurun di pegang sehingga pemerintah juga harus menghormatinya. Dengan
adanya hukum ini, seseorang akan berpikir ulang ketika berniat untuk
mencelakakan orang lain.
Contoh Hukum Adat Bali
Hukum
adat yang masih kental dilakukan adalah hukum yang berkaitan dengan warisan.
Dalam masyarakat adat Bali, seorang anak laki-laki adalah seorang ahli waris
dalam sebuah keluarga. Berbeda dengan anak perempuan yang hanya berhak
menikmati harta peninggalan sumai atau orang tua. Mengapa demikian? Hal ini
karena anak laki-laki yang ada pada masyarakat adat bali dianggap sebagai
seorang yang memiliki tanggung jawab besar pada keluarganya sedangkan anak
perempuan hanya bertanggung jawab pada lingkungan suami. Meskipun hukum ini
merupakan hukum adat masyarakat adat Bali, Namun ternyata pada sekitar tahun
2010 terjadi perubahan tentang hukum tersebut. Perempuan dianggap juga berhak
untuk menerima setengah hak waris purusa sehabis dipotong sekitar sepertiga
bagian harta pusaka dan juga kepentingan pelestarian. Akan tetapi hal tersebut
tak berlaku lagi apabila seorang wanita Bali berpindah agama dari agama nenek
moyang mereka yang telah dianut.
Contoh Hukum Adat Minangkabau
Dalam
hukum adat masyarakat Minangkabau, wanitalah yang mendapat warisan utuh. Lelaki
disana hanya bertugas untuk merantau di tanah orang, mencari harta, dan
mengamalkan ilmu yang mereka dapat ketika mereka telah kembali lagi ke tanah
halaman.
Contoh Hukum Adat Aceh
Dalam
hukum adat semua jenis pelanggaran memiliki jenjang penyelesaian yang selalu
dipakai dan ditaati masyarakat. Hukum dalam adat Aceh tidak langsung diberikan
begitu saja meskipun dalam hukum adat juga mengenal istilah denda. Dalam hukum
adat jenis penyelesaian masalah dan sanksi dapat dilakukan terlebih dahulu
dengan menasihati. Tahap kedua teguran, lalu pernyataan maaf oleh yang bersalah
di hadapan orang banyak biasanya di meunasah/ mesjid), kemudian baru
dijatuhkan denda. Artinya, tidak langsung pada denda sekian rupiah. Jenjang
penyelesaian ini berlaku pada siapa pun, juga perangkat adat sekalipun.
Salah
satu contoh kokohnya masyarakat dengan peranan lembaga adat seperti terlihat di
Gampông Barô. Kampung yang dulunya berada di pinggir pantai, namun tsunami
menelan kampung mereka. Berkat kepercayaan masyarakat kepada pemangku-pemangku
adat di kampungnya, masyarakat Gampông Barô sekarang sudah memiliki
perkampungan yang baru, yaitu di kaki bukit desa Durung, Aceh Besar.
Tak pernah
terjadi kericuhan dalam masyarakatnya, sebab segala macam kejadian, sampai pada
pembagian bantuan pun masyarakat percaya penuh kepada lembaga adat yang sudah
terbentuk. Nilai musyawarah dalam masyarakat adat memegang peranan tertinggi
dalam pengambilan keputusan.
Sebuah kasus pernah terjadi di tahun 1979. Ketika itu desa Lam Pu’uk selisih paham dengan desa Lam Lhom. Kasus itu terhitung rumit karena membawa nama desa, namun masalah dapat diselesaikan secara adat oleh Imum Mukim. Ini merupakan bukti kokohnya masyarakat yang menjunjung tinggi adat istiadat yang berlaku. Mereka tidak memerlukan polisi dalam menyelesaikan masalah sehingga segala macam bentuk masalah dapat diselesaikan dengan damai tanpa dibesar-besarkan oleh pihak luar.
Contoh Hukum Adat Bugis-Makassar
Pangadereng/ dan
pangadakkan dalam masyarakat Bugis-Makassar
a. Ade’
yaitu unsur dari pangadereng yang lebih dikenal dengan kata norma atau
adat. Ade’ ini secara khusus terdiri beberapa bagian yaitu :
Ø Ade’
akkalibinengen, yaitu adatatau norma mengenai hal ihwal perkawinan serta
hubungan kekerabatan dan berwujud sebagi kaidah kaidah perkawinan,
kaidah-kaidah keturunan, aturan-aturan mengenai hak dan kewajiban warga rumah
tangga, etika dalam berumah tangga dan sopan santun pergaulan antar kaum
kerabat
Ø Ade’
tanaatu norma-norma mengenai hal ihwal bernegara dan memerintah negara dan
berwujud sebagai wujud hukum negara, hukum antar negara, serta etika dan pembinaan
insan politik
Untuk pengawasan dan pembinaan ade dalam masyarakat bugis biasanya
dilakasanakan oleh beberapa pejabat adat seperti pakka tenniade’, puang ade’,
pampawa ade’, dan parewa ade’.
b. Bicara
adalah unsur bagian dari pangadereng yang mengenai aktivitiet dan konsep konsep
yang tersangkut paut dengan peradilan, maka kurang lebih sama dengan hukum
acara, mementukan prosedurnya, serta hak-hak dan kewajiban seorang yang sedang
mengajukan kasusnya di muka pengadilan atau yang mengajukan penggugatan.
c. Rapang
bererti contoh, perumpamaan, kias atau analogi. Sebagai unsur bagian dari
pangadereng, rapang menjaga kepastiaan dan kontiniutet dari suatu
kpeutusan hukum tak tertulis dalm masa yang lampau sampai sekarang dengan membuat
analogi antara kasus dari masa yang lampau itu dengan kasus yang sedang
digarap. Rapang juga berwujud sebagai perumpamaan-perumpamaan yang mengajukan
kelakuan ideal dan etika dalam lapangan hidup yang tertentu seperti lapangan
kehidupan kekerabatan, lapangan kehidupan berpolitikdan memerintah negara dsb.
Selain dari itu rapang juga berwujud sebagai pandangan-pandangan keramat untuk
mencegah tindakan-tindakan yang bersifat ganguanterhadap hak milik serta
ancaman terhadap keamanan seorang warga masyarakat.
d. Wari’
adalah unsur bagian dari pangadereng yang melakukan klasifikasi dari segala
benda, peristiwadan aktivitietnya dalam kehidupan masyarakat menurut
kategori-kategorinya. Misalnya untuk memelihara tata susunan dan tata
penempatan hal hal dan benda-benda dalam kehidupan masyarakat untuk memelihara
jalur dan garis keturunan yang mewujudkan pelapisan sosial; untuk memelihara
hubungan kekerabatan antara raja suatu negara dengan raja-raja dari
negara-negara lain, sehingga dapat ditentukan mana yang tua dan mana yang muda
dalm tata upacara kebesaran.
e. Sara’
adalah unsur bagian dari pangadereng yang mengandung pranata-pranata dan hukum
islam dan yang melengkapkan ke empat unsurnya menjadi lima. Sistem religi
masyarakat Sulawesi Selatan sebelum masuknya ajaran islam seperti
yang tampak dalm sure’ lagaligo, sebenarnya telah mengandung sutu
kepercayaan terhadap dewa yang tunggal yang disebut dengan beberapa nama
seperti patoto-e (maha menentukan nasib), dewata sewwae (dewa yang
tunggal), turie’ a’rana (kehendak yang tertinggi). Sisa kepercayaan
seperti ini masih tampak jelas misalnya beberapa kepercayaan tradisional yang
masi bertahan sampai sekarang misalnya pada orang tolotang, di kabupaten
sidenreng rappang dan pada orang ammatoa di kajang daerah bulukumba.
Bertepatan dengan masuknya islam di sulawesi seltan pada abad ke 17.
Hukum adat dengan
Alam
Dalam
hukum adat pelangaran terhadap sebuah sistem adat atau hukum adat di pandang
oleh masyarakat dapat menggangu keseimbangan kosmis yaitu lingkungan hidup
tempat manusia hidup. Sehingga sering terjadi suatu bencana dari alam karena
terjadinya gangguan pada kesimbangan alam akibat pelannggaran yang di perbuat
oleh manusia. Maka dari itu jika terjadi sebuah pelanggaran adat, harus di beri
hukuman atau sanksi oleh pelaksana hukum adat yang biasa disebut parewa
ade’. Untuk memberikan hukuman kepada pelaku pelanggaran adat diberiak
beberapa sanksi seperti denda sesuai dengan yang sudah disepakati, di usir dari
suatu lingkungan masyarakat, di hukum mati, derajat sosial diturunkan sehingga
bisa dijadikan budak, jika pemegang kekuasaan maka harus dipecat dari
jabatannya, keturunanya tidak dimunculkan alias di habiskan seperti pepatah
pohon yang tidak dibiarkan menghasilkan pucuk dari hasil tebangan, dianggap
sudah meninggal (dalam masyarakat bugis dikenal dengan istilah dipoppangi
tana’)
Adapun perkawinan
– perkawinan yang dilarang dan dianggap sumbang (salimara’):
1. perkawinan antara anak dengan ibu / ayah
1. perkawinan antara anak dengan ibu / ayah
2. perkawinan
antara saudara sekandung
3. perkawinan
antara menantu dan mertua
4. perkawinan
antara paman / bibi dengan kemenakan
5. perkawinan
antara kakek / nenek dengan cucu
Terkait dengan
perkawian salimara ini saya belum pernah mendapatkan kasus seperti ini, yang
pernah saya ketahui perkawin ini sangat di haramkan dan dilarang pada masyarakat
tanah bugis pada umumnya apalagi pada saat masuknya islam dan telah menjadi
unsur pangadereng dalam masyarakat bugis pada umunya. Yang pernah saya
dengar jika orang melakukan salah satu kesaalahan di atas maka pihak keluarkga
dan ketua adat menghukum sipelaku dengan cara :
·
Di bunuh
·
Di usir
·
Diputuskan tali
silaturahim
·
Akan di sumpahi
mendapat sial seumur hidup
·
Di anggap sudah
tidak ada dan tidak pernah ada dalm suatu lingkungan masyarakat
Dan…
Hanya beberapa contoh hukum adat saja yang bisa saya tulis. Senang sharing ilmu
dengan anda semua. Trima kasih J
Reference: