Undang – Undang No. 8 Tahun 1999
KETENTUAN UMUM
1.
Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang
menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.
2.
Konsumen adalah setiap orang pemakai
barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri
sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan.
3.
Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan
atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang
didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara
Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersamasama melalui perjanjian
menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
4.
Barang adalah setiap benda baik
berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat
dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan,
dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen.
5.
Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk
pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi ma rakat untuk dimanfaatkan oleh
konsumen.
6.
Promosi adalah kegiatan pengenalan atau
penyebarluasan informasi suatu barang dan/atau jasa untuk menarik minat beli
konsumen terhadap barang dan/atau jasa yang akan dan sedang diperdagangkan.
7.
Impor barang adalah kegiatan memasukan barang
ke dalam daerah pabean.
8.
Impor jasa adalah kegiatan penyediaan jasa
asing untuk digunakan di dalam wilayah Republik Indonesia.
9.
Lembaga Perlindungan Konsumen
Swadaya Masyarakat
adalah lembaga non pemerintah yang terdaftar dan diakui oleh pemerintah yang
mempunyai kegiatan menangani perlindungan konsumen.
10. Klausula
Baku adalah
setiap aturan atau ketentuan dan rata rata yang telah dipersiapkan dan
ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan
dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh
konsumen.
11. Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen
adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku
usaha dan konsumen.
12. Badan
Perlindungan Konsumen Nasional
adalah badan yang dibentuk untuk membantu upaya pengembangan perlindungan
konsumen.
13. Menteri
adalah menteri
yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang perdagangan.
ASAS DAN TUJUAN
Upaya
perlindungan konsumen di tanah air didasarkan pada sejumlah asas dan tujuan
yang telah diyakini bisa memberikan arahan dalam implementasinya di tingkatan
praktis. Dengan adanya asas dan tujuan yang jelas, hukum perlindungan konsumen
memiliki dasar pijakan yang benar-benar kuat.
Asas Perlindungan Konsumen
Berdasarkan
UU Perlindungan Konsumen pasal 2, ada lima asas perlindungan konsumen.
1.
Asas
manfaat
Maksud asas ini adalah untuk
mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen
harus memberikan manfaat sebesar- besarnya bagi kepentingankonsumen dan pelau
usaha secara keseluruhan.
2.
Asas
keadilan
Asas ini dimaksudkan agar
partisipasi seluruh rakyat bias diwujudkan secara maksimal dan memberikan
kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknyadan
melaksanakan kewajibannya secara adil.
3.
Asas
keseimbangan
Asas ini dimaksudkan untuk memberikan
keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam
arti material maupun spiritual.
4.
Asas
keamanan dan keselamatan konsumen
Asas ini dimaksudkan untuk
memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan,
pemakaian, dan pemanfaatan barang/jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
5.
Asas
kepastian hukum
Asas ini dimaksudkan agar baik
pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta Negara menjamin kepastian hukum.
Tujuan Perlindungan Konsumen
Dalam
UU Perlindungan Konsumen Pasal 3, disebutkan bahwa tujuan perlindungan konsumen
adalah sebagai berikut.
·
Meningkatkan
kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri.
·
Mengangkat
harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif
pemakaian barang dan/atau jasa.
·
Meningkatkan
pemberdayaan konsumen dalam memilih, dan menuntut hak- haknya sebagai konsumen.
·
Menciptakan
sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan
keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.
·
Menumbuhkan
kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga
tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.
·
Meningkatkan
kualitas barang/jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan jasa,
kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
HAK DAN KEWAJIBAN KONSUMEN
Hak-hak konsumen
Sebagai
pemakai barang/jasa, konsumen memiliki sejumlah hak dan kewajiban. Pengetahuan
tentang hak-hak konsumen sangat penting agar orang bisa bertindak sebagai
konsumen yang kritis dan mandiri. Tujuannya, jika ditengarai adanya tindakan
yang tidak adil terhadap dirinya, ia secara spontan menyadari akan hal itu.
Konsumen kemudian bisa bertindak lebih jauh untuk memperjuangkan hak-haknya.
Dengan kata lain, ia tidak hanya tinggal diam saja ketika menyadari bahwa
hak-haknya telah dilanggar oleh pelaku usaha.
Berdasarkan
UU Perlindungan konsumen pasal 4, hak-hak konsumen sebagai berikut :
·
Hak
atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang/jasa.
·
Hak
untuk memilih dan mendapatkan barang/jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi
serta jaminan yang dijanjikan .
·
Hak
atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang/jasa.
·
Hak
untuk didengar pendapat keluhannya atas barang/jasa yang digunakan.
·
Hak
untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut.
·
Hak
untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.
·
Hak
untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskrimainatif.
·
Hak
untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, atau penggantian, jika barang/jasa
yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
·
Hak-hak
yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Disamping
hak-hak dalam pasal 4 juga terdapat hak-hak konsumen yang dirumuskan dalam
pasal 7, yang mengatur tentang kewajiban pelaku usaha. Kewajiban dan hak
merupakan antinomi dalam hukum, sehingga kewajiban pelaku usaha merupakan hak
konsumen. selain hak-hak yang disebutkan tersebut ada juga hak untuk dilindungi
dari akibat negatif persaingan curang. Hal ini dilatarbelakangi oleh
pertimbangan bahwa kegiatan bisnis yang dilakukan oleh pengusaha sering
dilakukan
secara tidak jujur yang dalam hukum dikenal dengan terminologi ” persaingan
curang”.
Di
Indonesia persaingan curang ini diatur dalam UU No. 5 tahun 1999 tentang
larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, juga dalam pasal
382 bis KUHP. Dengan demikian jelaslah bahwa konsumen dilindungi oleh hukum,
hal ini terbukti telah diaturnya hak-hak konsumenyang merupakan kewajiban
pelaku usaha dalam UU No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, termasuk
didalamnya juga diatur tentang segala sesuatu yang berkaitan apabila hak
konsumen, misalnya siapa yang melindungi konsumen, bagaimana konsumen
memperjuangkan hak-haknya.
Kewajiban Konsumen
Kewajiban
Konsumen Sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang Perlindungan Konsumen, Kewajiban
Konsumen adalah :
·
Membaca
atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan
barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan.
·
Beritikad
baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa.
·
Membayar
sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
·
Mengikuti
upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
HAK DAN KEWAJIBAN PELAKU USAHA
Seperti
halnya konsumen, pelaku usaha juga memiliki hak dan kewajiban. Hak pelaku usaha
sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UUPK adalah:
·
Hak
untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan
nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
·
Hak
untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak
baik.
·
Hak
untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa
konsumen.
·
Hak
untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian
konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
·
Hak-hak
yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Sedangkan
kewajiban pelaku usaha menurut ketentuan Pasal 7 UUPK adalah:
·
Beritikad
baik dalam melakukan kegiatan usahanya.
·
Memberikan
informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.
·
Memperlakukan
atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
·
Menjamin
mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan
ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku.
·
Memberi
kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa
tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat
dan/atau yang diperdagangkan;
·
Memberi
kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan,
pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
·
Memberi
kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang
dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Bila
diperhatikan dengan seksama, tampak bahwa hak dan kewajiban pelaku usaha
bertimbal balik dengan hak dan kewajiban konsumen. Ini berarti hak bagi
konsumen adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha. Demikian pula
dengan kewajiban konsumen merupakan hak yang akan diterima pelaku usaha.
Bila
dibandingkan dengan ketentuan umum di Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tampak
bahwa pengaturan UUPK lebih spesifik. Karena di UUPK pelaku usaha selain harus
melakukan kegiatan usaha dengan itikad baik, ia juga harus mampu menciptakan
iklim usaha yang kondusif, tanpa persaingan yang curang antar pelaku usaha.
PERBUATAN YANG DILARANG BAGI
PELAKU USAHA
Ketentuan
mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha diatur dalamPasal 8 – 17
UU PK. Ketentuan-ketentuan ini kemudian dapat dibagi kedalam 3 kelompok,
yakni:
1. larangan
bagi pelaku usaha dalam kegiatan produksi (Pasal 8 )
2. larangan
bagi pelaku usaha dalam kegiatan pemasaran (Pasal 9 – 16)
3. larangan
bagi pelaku usaha periklanan (Pasal 17)
Ada
10 larangan bagi pelaku usaha sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU PK,
yakni pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang
dan/atau jasa yang :
·
Tidak
memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
·
Tidak
sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan
sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
·
Tidak
sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran
yang sebenarnya;
·
Tidak
sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana
dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
·
Tidak
sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau
penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang
dan/atau jasa tersebut;
·
Tidak
sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau
promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
·
Tidak
mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang
paling baik atas barang tertentu;
·
Tidak
mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal”
yang dicantumkan dalam label.
·
Tidak
memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran,
berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat
sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan
yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat.
·
Tidak
mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa
Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Tiap
bidang usaha diatur oleh ketentuan tersendiri. Misalnya kegiatan usaha di
bidang makanan dan minuman tunduk pada UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Tak
jarang pula, tiap daerah memiliki pengaturan yang lebih spesifik yang diatur
melalui Peraturan Daerah. Selain tunduk pada ketentuan yang berlaku, pelaku
usaha juga wajib memiliki itikad baik dalam berusaha. Segala janji-janji yang
disampaikan kepada konsumen, baik melalui label, etiket maupun iklan harus
dipenuhi.
Selain
itu, ayat (2) dan (3) juga memberikan larangan sebagai berikut:
(2)
Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan
tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas
barang dimaksud.
(3)
Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak,
cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara
lengkap dan benar.
UU
PK tidak memberikan keterangan yang jelas mengenai apa itu rusak, cacat, bekas
dan tercemar. Bila kita membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah-istilah
tersebut diartikan sebagai berikut:
·
Rusak:
sudah tidak sempurna (baik, utuh) lagi.
·
Cacat:
kekurangan yang menyebabkan nilai atau mutunya kurang baik atau kurang
sempurna.
·
Bekas:
sudah pernah dipakai.
·
Tercemar:
menjadi cemar (rusak, tidak baik lagi).
Ternyata
cukup sulit untuk membedakan rusak, cacat dan tercemar. Menurut saya rusak
berarti benda tersebut sudah tidak dapat digunakan lagi. Cacat berarti benda
tersebut masih dapat digunakan, namun fungsinya sudah berkurang. Sedangkan
tercemar berarti pada awalnya benda tersebut baik dan utuh.
Namun
ada sesuatu diluar benda tersebut yang bersatu dengan benda itu sehingga
fungsinya berkurang atau tidak berfungsi lagi.
Ketentuan
terakhir dari pasal ini adalah:
(4)
Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang
memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari
peredaran.
TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA
Setiap
pelaku usaha harus bertanggung jawab atas produk yang dihasilkan atau
diperdagangkan. Tanggung jawab produk timbul dikarenakan kerugian yang dialami
konsumen sebagai akibat dari “ produk yang cacat “, bisa dikarenakan kekurang
cermatan dalam memproduksi, tidak sesuai dengan yang diperjanjikan atau
kesalahan yang dilakukan oleh pelaku usaha. Dengan kata lain, pelaku usaha
ingkar janji atau melakukan perbuatan melawan hukum.
Di
dalam undang-undang nomor 8 tahun 1999 diatur psal 19 sampai dengan pasal 28.
di dalam pasal 19 mengatur tanggung jawab kesalahan pelaku usaha terhadap
produk yang dihasilkan atau diperdagangkan dengan memberi ganti kerugian atas
kerusakan, pencemaran, kerusakan, kerugian konsumen.
Sementara
itu, pasal 20 dan pasal 21 mengatur beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa
menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian, sedangkan pasal 22
menentukan bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya unsure kesalahan dalam kasus
pidana sebagaimana telah diatur dalam pasal 19
Di
dalam pasal 27 disebut hal-hal yang membebaskan pelaku usaha dari tanggung
jawab atas kerugian yand diderita konsumen, apabila :
·
Barang
tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksud untuk
diedarkan
·
Cacat
barang timbul pada kemudian hari.
·
Cacat
timul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang.
·
Kelalaian
yang diakibatkan oleh konsumen.
·
Lewatnya
jangka waktu penuntutan 4 tahun sejak barang dibeli atau lewat jangka waktu
yang diperjanjikan
SANKSI BAGI PELAKU USAHA
Sanksi
Bagi Pelaku Usaha Menurut Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen
1. Sanksi Perdata :
1. Sanksi Perdata :
Ganti rugi dalam bentuk :
- Pengembalian uang atau
- Penggantian barang atau
- Perawatan kesehatan, dan/atau
- Pemberian santunan
Ganti rugi diberikan dalam tenggang waktu 7 hari setelah tanggal transaksi
Sanksi Administrasi :
maksimal Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah), melalui BPSK jika melanggar Pasal 19 ayat (2) dan (3), 20, 25
- Pengembalian uang atau
- Penggantian barang atau
- Perawatan kesehatan, dan/atau
- Pemberian santunan
Ganti rugi diberikan dalam tenggang waktu 7 hari setelah tanggal transaksi
Sanksi Administrasi :
maksimal Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah), melalui BPSK jika melanggar Pasal 19 ayat (2) dan (3), 20, 25
2.
Sanksi Pidana :
Kurungan :
-Penjara, 5 tahun, atau denda Rp. 2.000.000.000 (dua milyar rupiah) (Pasal 8, 9, 10, 13 ayat (2), 15, 17 ayat (1) huruf a, b, c, dan e dan Pasal 18
-Penjara, 2 tahun, atau denda Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah) (Pasal 11, 12, 13 ayat (1), 14, 16 dan 17 ayat (1) huruf d dan f
* Ketentuan pidana lain (di luar Undang-undang No. 8 Tahun. 1999 tentang Perlindungan Konsumen) jika konsumen luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian
Kurungan :
-Penjara, 5 tahun, atau denda Rp. 2.000.000.000 (dua milyar rupiah) (Pasal 8, 9, 10, 13 ayat (2), 15, 17 ayat (1) huruf a, b, c, dan e dan Pasal 18
-Penjara, 2 tahun, atau denda Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah) (Pasal 11, 12, 13 ayat (1), 14, 16 dan 17 ayat (1) huruf d dan f
* Ketentuan pidana lain (di luar Undang-undang No. 8 Tahun. 1999 tentang Perlindungan Konsumen) jika konsumen luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian
*
Hukuman tambahan , antara lain :
o Pengumuman keputusan Hakim
o Pencabuttan izin usaha.
o Dilarang memperdagangkan barang dan jasa.
o Wajib menarik dari peredaran barang dan jasa.
o Hasil Pengawasan disebarluaskan kepada masyarakat .
o Pengumuman keputusan Hakim
o Pencabuttan izin usaha.
o Dilarang memperdagangkan barang dan jasa.
o Wajib menarik dari peredaran barang dan jasa.
o Hasil Pengawasan disebarluaskan kepada masyarakat .
Ada
Kandungan Klorin dalam Pembalut Wanita
Perlindungan
konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi
perlindungan kepada konsumen. Namun, sejauh ini UU perlindungan konsumen
tersebut belum sepenuhnya ditegakkann. Konsumen sebagai objek UU Perlindungan
Konsumen masih saja sering dirugikan oleh para produsen nakal. masih banyak
saja pelanggaran UU Perlindungan Konsumen yang terjadi di Indonesia. Padahal
perlindungan konsumen itu sendiri sudah diatur dalam Undang-Undang Republik
Indonesia No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Salah
satu contoh kasus yang terjadi terhadap perlindungan konsumen baru-baru ini
adalah kasus pembalut dan pantyliner yang ada di Indonesia mengandung Klorin.
Hal ini telath diuji oleh Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLKI). Tanpa
informasi yang pasti mengenai kandungan klorin dalam pembalut, masyarakat
menangkap informasi tidak seimbang mengenai fungs klorin pada pembalut. Klorin
dipakai dalam proses pemutihan awal pembalut. Pada awal proses pembuatan
pembalut, campuran kapas dan rayon menghasilkan warna yang tidak begitu bagus,
sehingga diperlukan proses pemutihan yang memakai klorin. Berikut daftar merk
pembalut dan pantyliner mengandung klorin yang di uji oleh YLKI:
Pembalut:
·
CHARM,
diproduksi oleh PT Uni Charm Indonesia, mengandung kadar klorin 54,73 ppm
·
Nina
Anion, didistribusikan oleh PT Panca Talentamas, mengandung kadar klorin 39,2
ppm
·
My
Lady, didistribusikan PT Sehat Anugrah Perkasa, mengandung kadar klorin 23,44
ppm
·
Vclass
Ultra, diimpor oleh PT Softex Indonesia, mengandung kadar klorin 17,74 ppm
·
Kotex,
diproduksi oleh PT Kimberly-Clark Indonesia, mengandung kadar klorin 8,23 ppm
·
Hers
Protex, diproduksi oleh PT Multi Duta Sari, mengandung kadar klorin 7,93 ppm
·
Laurier,
diproduksi oleh PT KAO Indonesia, mengandung kadar klorin 7,77 ppm
·
Softex,
diproduksi oleh PT Softex Indonesia, mengandung kadar klorin 7,3 ppm
·
Softness
Standard Jumbo Pack, mengandung kadar klorin 6,05 ppm
Pantyliner:
·
Vclass,
di produksi oleh PT Softex Indonesia, mengandung kadar klorin 14,68 ppm
·
Pure
Style, di produksi oleh PT Uni Charm Indonesia,mengandung kadar klorin 10,22
ppm
·
My
Lady, didistribusikan oleh PT Sehat Perkasa, mengandung kadar klorin 9,76 ppm
·
Kotex
Fresh Liners, diproduksi oleh PT Kimberly - Clark Indonesia, mengandung kadar
klorin 9,66 ppm
·
Softness
Panty Shileds, diproduksi oleh PT Softness Indonesia Indah, mengandung kadar
klorin 9,00 ppm
·
Carefree
Superdry, diimpor Johnson & Johnson Indonesia, mengandung kadar klorin 7,58
ppm
·
Laurier
Active Fit, diproduksi PT KAO Indonesia, mengandung kadar klorin 5,87 ppm
Data
diatas, ternyata beberapa pembalut dan pantyliner di Indonsia mengandung kadar
klorin yang sangat tinggi. Klorin merupakan zat yang sangat berbahaya bagi
kesehatan reproduksi. Selain keputihan, gatal-gatal, dan iritasi, klorin juga
dapat menyebabkan kanker. Menurut WHO, ada 52 juta beriisko terkena kanker
serviks, slaah satunya dipicu oleh zat-zat dalam pembalut, dan yang lebih
berbahaya lagi adalah 52% produsen tidak mencantumkan komposisi zat pembalut
dan pantyliner dalam kemasannya.
Menurut
saya, dari kasus diatas, hal ini sangat lah merugikan konsumen. Kasus ini sudah
melanggar Pasal 4 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999, yang berisi hak mendasar bagi
konsumen adalah hak atas keamanan produk, hak atas informasi, hak untuk
memilih, hak didengar pendapat dan keluhannya, hak atas advokasi, pembinaan
pendidikan, serta hak untuk mendapatkan ganti rugi. Pemerintah sebenarnya telah
melansir bahwa klorin adalah zat yang berbahaya melalui Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 472/MENKES/PER/V?1996, tetapi tidak ada
regulasi yang melarang adanya kandungan klorin dalam pembalut. hal ini sangat
disayangkan sekali.
Jika
kita merujuk pada FDA (Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat),
pemutihan pembalut bebas klorin yang dibolehkan oleh Food and Drug
Administration (FDA) adalah elemental chlorine-free, yaitu pembalut
yang bebas klorin tetapi bersifat elemental. Artinya, pembalut yang dipakai di
Amerika adalah pembalut yang bebas klorin, tetapi memiliki kadar klorin yang
sangat kecil sekali, yaitu 0,1 ppm sampai 1 ppm. Dari data diatas, kadar klorin
dalam pembalut di Indonesia yang paling kecil adalah 6,05 ppm. Selisih nya
sangat lah tidak sedikit. bisa kita bayangkan suah berapa banyak zat berbahaya
yang masuk kedalam tubuh kita.
Jadi,
saya sangat berharap pemerintah segera mengeluarkan regulasi pelaranggan
tersebut, sehingga tidak akan banyak keluhan dari konsumen, danperlindungan
terhadap konsumen pun tetap terjaga, dan Indonesia tidak menjadi negara yang
masyarakatnya penderita kanker serviks terbanyak. Pemerintah harus lebih tegas
dalam hal ini, karena jika masih beredar kadar klorin dalam pembalut yang
menyalahi aturan, itu berarti sudah menyalahi standar yang dari BPOM juga.
Sumber:
Suara.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar