friendly

fun

fun

Jumat, 03 Juni 2016

UU No. 8/1999 Dan Contoh Kasus Produk Toiletries Yang Melanggar Salah Satu Ayat

Undang – Undang No. 8 Tahun 1999

KETENTUAN UMUM

1.      Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.
2.      Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
3.      Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama­sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
4.      Barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen.
5.      Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi ma rakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.
6.      Promosi adalah kegiatan pengenalan atau penyebarluasan informasi suatu barang dan/atau jasa untuk menarik minat beli konsumen terhadap barang dan/atau jasa yang akan dan sedang diperdagangkan.
7.      Impor barang adalah kegiatan memasukan barang ke dalam daerah pabean.
8.      Impor jasa adalah kegiatan penyediaan jasa asing untuk digunakan di dalam wilayah Republik Indonesia.
9.      Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat adalah lembaga non­ pemerintah yang terdaftar dan diakui oleh pemerintah yang mempunyai kegiatan menangani perlindungan konsumen.
10.  Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan rata­ rata yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.
11.  Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen.
12.  Badan Perlindungan Konsumen Nasional adalah badan yang dibentuk untuk membantu upaya pengembangan perlindungan konsumen.
13.  Menteri adalah menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang perdagangan.

ASAS DAN TUJUAN

Upaya perlindungan konsumen di tanah air didasarkan pada sejumlah asas dan tujuan yang telah diyakini bisa memberikan arahan dalam implementasinya di tingkatan praktis. Dengan adanya asas dan tujuan yang jelas, hukum perlindungan konsumen memiliki dasar pijakan yang benar-benar kuat.

Asas Perlindungan Konsumen
Berdasarkan UU Perlindungan Konsumen pasal 2, ada lima asas perlindungan konsumen.
1.      Asas manfaat
Maksud asas ini adalah untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar- besarnya bagi kepentingankonsumen dan pelau usaha secara keseluruhan.
2.      Asas keadilan
Asas ini dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat bias diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknyadan melaksanakan kewajibannya secara adil.
3.      Asas keseimbangan
Asas ini dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti material maupun spiritual.
4.      Asas keamanan dan keselamatan konsumen
Asas ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang/jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
5.      Asas kepastian hukum
Asas ini dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta Negara menjamin kepastian hukum.

Tujuan Perlindungan Konsumen
Dalam UU Perlindungan Konsumen Pasal 3, disebutkan bahwa tujuan perlindungan konsumen adalah sebagai berikut.
·         Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri.
·         Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa.
·         Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, dan menuntut hak- haknya sebagai konsumen.
·         Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.
·         Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.
·         Meningkatkan kualitas barang/jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

HAK DAN KEWAJIBAN KONSUMEN

Hak-hak konsumen
Sebagai pemakai barang/jasa, konsumen memiliki sejumlah hak dan kewajiban. Pengetahuan tentang hak-hak konsumen sangat penting agar orang bisa bertindak sebagai konsumen yang kritis dan mandiri. Tujuannya, jika ditengarai adanya tindakan yang tidak adil terhadap dirinya, ia secara spontan menyadari akan hal itu. Konsumen kemudian bisa bertindak lebih jauh untuk memperjuangkan hak-haknya. Dengan kata lain, ia tidak hanya tinggal diam saja ketika menyadari bahwa hak-haknya telah dilanggar oleh pelaku usaha.
Berdasarkan UU Perlindungan konsumen pasal 4, hak-hak konsumen sebagai berikut :
·         Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang/jasa.
·         Hak untuk memilih dan mendapatkan barang/jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan .
·         Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang/jasa.
·         Hak untuk didengar pendapat keluhannya atas barang/jasa yang digunakan.
·         Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
·         Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.
·         Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskrimainatif.
·         Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, atau penggantian, jika barang/jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
·         Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Disamping hak-hak dalam pasal 4 juga terdapat hak-hak konsumen yang dirumuskan dalam pasal 7, yang mengatur tentang kewajiban pelaku usaha. Kewajiban dan hak merupakan antinomi dalam hukum, sehingga kewajiban pelaku usaha merupakan hak konsumen. selain hak-hak yang disebutkan tersebut ada juga hak untuk dilindungi dari akibat negatif persaingan curang. Hal ini dilatarbelakangi oleh pertimbangan bahwa kegiatan bisnis yang dilakukan oleh pengusaha sering
dilakukan secara tidak jujur yang dalam hukum dikenal dengan terminologi ” persaingan curang”.

Di Indonesia persaingan curang ini diatur dalam UU No. 5 tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, juga dalam pasal 382 bis KUHP. Dengan demikian jelaslah bahwa konsumen dilindungi oleh hukum, hal ini terbukti telah diaturnya hak-hak konsumenyang merupakan kewajiban pelaku usaha dalam UU No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, termasuk didalamnya juga diatur tentang segala sesuatu yang berkaitan apabila hak konsumen, misalnya siapa yang melindungi konsumen, bagaimana konsumen memperjuangkan hak-haknya. 

Kewajiban Konsumen

Kewajiban Konsumen Sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang Perlindungan Konsumen, Kewajiban Konsumen adalah :
·         Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan.
·         Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa.
·         Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
·         Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

HAK DAN KEWAJIBAN PELAKU USAHA
Seperti halnya konsumen, pelaku usaha juga memiliki hak dan kewajiban. Hak pelaku usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UUPK adalah:
·         Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
·         Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik.
·         Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen.
·         Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
·         Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Sedangkan kewajiban pelaku usaha menurut ketentuan Pasal 7 UUPK adalah:
·         Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.
·         Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.
·         Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
·         Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku.
·         Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
·         Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
·         Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Bila diperhatikan dengan seksama, tampak bahwa hak dan kewajiban pelaku usaha bertimbal balik dengan hak dan kewajiban konsumen. Ini berarti hak bagi konsumen adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha. Demikian pula dengan kewajiban konsumen merupakan hak yang akan diterima pelaku usaha.

Bila dibandingkan dengan ketentuan umum di Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tampak bahwa pengaturan UUPK lebih spesifik. Karena di UUPK pelaku usaha selain harus melakukan kegiatan usaha dengan itikad baik, ia juga harus mampu menciptakan iklim usaha yang kondusif, tanpa persaingan yang curang antar pelaku usaha.

PERBUATAN YANG DILARANG BAGI PELAKU USAHA
Ketentuan mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha diatur dalamPasal 8 – 17 UU PK. Ketentuan-ketentuan ini kemudian dapat dibagi kedalam 3 kelompok, yakni:
1.      larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan produksi (Pasal 8 )
2.      larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan pemasaran (Pasal 9 – 16)
3.      larangan bagi pelaku usaha periklanan (Pasal 17)

Ada 10 larangan bagi pelaku usaha sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU PK, yakni pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang :
·         Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
·         Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
·         Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
·         Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
·         Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
·         Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
·         Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
·         Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label.
·         Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat.
·         Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Tiap bidang usaha diatur oleh ketentuan tersendiri. Misalnya kegiatan usaha di bidang makanan dan minuman tunduk pada UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Tak jarang pula, tiap daerah memiliki pengaturan yang lebih spesifik yang diatur melalui Peraturan Daerah. Selain tunduk pada ketentuan yang berlaku, pelaku usaha juga wajib memiliki itikad baik dalam berusaha. Segala janji-janji yang disampaikan kepada konsumen, baik melalui label, etiket maupun iklan harus dipenuhi.

Selain itu, ayat (2) dan (3) juga memberikan larangan sebagai berikut:

(2)  Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar   tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.
(3)  Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.

UU PK tidak memberikan keterangan yang jelas mengenai apa itu rusak, cacat, bekas dan tercemar. Bila kita membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah-istilah tersebut diartikan sebagai berikut:
·         Rusak: sudah tidak sempurna (baik, utuh) lagi.
·         Cacat: kekurangan yang menyebabkan nilai atau mutunya kurang baik atau kurang sempurna.
·         Bekas: sudah pernah dipakai.
·         Tercemar: menjadi cemar (rusak, tidak baik lagi).

Ternyata cukup sulit untuk membedakan rusak, cacat dan tercemar. Menurut saya rusak berarti benda tersebut sudah tidak dapat digunakan lagi. Cacat berarti benda tersebut masih dapat digunakan, namun fungsinya sudah berkurang. Sedangkan tercemar berarti pada awalnya benda tersebut baik dan utuh.
Namun ada sesuatu diluar benda tersebut yang bersatu dengan benda itu sehingga fungsinya berkurang atau tidak berfungsi lagi.

Ketentuan terakhir dari pasal ini adalah:

(4)  Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.

TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA
Setiap pelaku usaha harus bertanggung jawab atas produk yang dihasilkan atau diperdagangkan. Tanggung jawab produk timbul dikarenakan kerugian yang dialami konsumen sebagai akibat dari “ produk yang cacat “, bisa dikarenakan kekurang cermatan dalam memproduksi, tidak sesuai dengan yang diperjanjikan atau kesalahan yang dilakukan oleh pelaku usaha. Dengan kata lain, pelaku usaha ingkar janji atau melakukan perbuatan melawan hukum.

Di dalam undang-undang nomor 8 tahun 1999 diatur psal 19 sampai dengan pasal 28. di dalam pasal 19 mengatur tanggung jawab kesalahan pelaku usaha terhadap produk yang dihasilkan atau diperdagangkan dengan memberi ganti kerugian atas kerusakan, pencemaran, kerusakan, kerugian konsumen.

Sementara itu, pasal 20 dan pasal 21 mengatur beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian, sedangkan pasal 22 menentukan bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya unsure kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana telah diatur dalam pasal 19

Di dalam pasal 27 disebut hal-hal yang membebaskan pelaku usaha dari tanggung jawab atas kerugian yand diderita konsumen, apabila :
·         Barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksud untuk diedarkan
·         Cacat barang timbul pada kemudian hari.
·         Cacat timul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang.
·         Kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen.
·         Lewatnya jangka waktu penuntutan 4 tahun sejak barang dibeli atau lewat jangka waktu yang diperjanjikan

SANKSI BAGI PELAKU USAHA
Sanksi Bagi Pelaku Usaha Menurut Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
1. Sanksi Perdata :
    Ganti rugi dalam bentuk :
   - Pengembalian uang atau
   - Penggantian barang atau
   - Perawatan kesehatan, dan/atau
   - Pemberian santunan
Ganti rugi diberikan dalam tenggang waktu 7 hari setelah tanggal transaksi
Sanksi Administrasi :
maksimal Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah), melalui BPSK jika melanggar Pasal 19 ayat (2) dan (3), 20, 25

2. Sanksi Pidana :
Kurungan :
-Penjara, 5 tahun, atau denda Rp. 2.000.000.000 (dua milyar rupiah) (Pasal 8, 9, 10, 13 ayat (2),  15, 17  ayat (1) huruf a, b, c, dan e dan Pasal 18
-Penjara, 2 tahun, atau denda Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah) (Pasal 11, 12, 13 ayat (1), 14, 16 dan 17 ayat (1) huruf d dan f
* Ketentuan pidana lain (di luar Undang-undang No. 8 Tahun. 1999 tentang Perlindungan Konsumen) jika konsumen luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian 
* Hukuman tambahan , antara lain :
          o Pengumuman keputusan Hakim
          o Pencabuttan izin usaha.
          o Dilarang memperdagangkan barang dan jasa.
          o Wajib menarik dari peredaran barang dan jasa.
          o Hasil Pengawasan disebarluaskan kepada masyarakat . 


Ada Kandungan Klorin dalam Pembalut Wanita

Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Namun, sejauh ini UU perlindungan konsumen tersebut belum sepenuhnya ditegakkann. Konsumen sebagai objek UU Perlindungan Konsumen masih saja sering dirugikan oleh para produsen nakal. masih banyak saja pelanggaran UU Perlindungan Konsumen yang terjadi di Indonesia. Padahal perlindungan konsumen itu sendiri sudah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 

Salah satu contoh kasus yang terjadi terhadap perlindungan konsumen baru-baru ini adalah kasus pembalut dan pantyliner yang ada di Indonesia mengandung Klorin. Hal ini telath diuji oleh Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLKI). Tanpa informasi yang pasti mengenai kandungan klorin dalam pembalut, masyarakat menangkap informasi tidak seimbang mengenai fungs klorin pada pembalut. Klorin dipakai dalam proses pemutihan awal pembalut. Pada awal proses pembuatan pembalut, campuran kapas dan rayon menghasilkan warna yang tidak begitu bagus, sehingga diperlukan proses pemutihan yang memakai klorin. Berikut daftar merk pembalut dan pantyliner mengandung klorin yang di uji oleh YLKI:

Pembalut:
·         CHARM, diproduksi oleh PT Uni Charm Indonesia, mengandung kadar klorin 54,73 ppm
·         Nina Anion, didistribusikan oleh PT Panca Talentamas, mengandung kadar klorin 39,2 ppm
·         My Lady, didistribusikan PT Sehat Anugrah Perkasa, mengandung kadar klorin 23,44 ppm
·         Vclass Ultra, diimpor oleh PT Softex Indonesia, mengandung kadar klorin 17,74 ppm
·         Kotex, diproduksi oleh PT Kimberly-Clark Indonesia, mengandung kadar klorin 8,23 ppm
·         Hers Protex, diproduksi oleh PT Multi Duta Sari, mengandung kadar klorin 7,93 ppm
·         Laurier, diproduksi oleh PT KAO Indonesia, mengandung kadar klorin 7,77 ppm
·         Softex, diproduksi oleh PT Softex Indonesia, mengandung kadar klorin 7,3 ppm
·         Softness Standard Jumbo Pack, mengandung kadar klorin 6,05 ppm
Pantyliner:
·         Vclass, di produksi oleh PT Softex Indonesia, mengandung kadar klorin 14,68 ppm
·         Pure Style, di produksi oleh PT Uni Charm Indonesia,mengandung kadar klorin 10,22 ppm
·         My Lady, didistribusikan oleh PT Sehat Perkasa, mengandung kadar klorin 9,76 ppm
·         Kotex Fresh Liners, diproduksi oleh PT Kimberly - Clark Indonesia, mengandung kadar klorin 9,66 ppm
·         Softness Panty Shileds, diproduksi oleh PT Softness Indonesia Indah, mengandung kadar klorin 9,00 ppm
·         Carefree Superdry, diimpor Johnson & Johnson Indonesia, mengandung kadar klorin 7,58 ppm
·         Laurier Active Fit, diproduksi PT KAO Indonesia, mengandung kadar klorin 5,87 ppm

Data diatas, ternyata beberapa pembalut dan pantyliner di Indonsia mengandung kadar klorin yang sangat tinggi. Klorin merupakan zat yang sangat berbahaya bagi kesehatan reproduksi. Selain keputihan, gatal-gatal, dan iritasi, klorin juga dapat menyebabkan kanker. Menurut WHO, ada 52 juta beriisko terkena kanker serviks, slaah satunya dipicu oleh zat-zat dalam pembalut, dan yang lebih berbahaya lagi adalah 52% produsen tidak mencantumkan komposisi zat pembalut dan pantyliner dalam kemasannya. 

Menurut saya, dari kasus diatas, hal ini sangat lah merugikan konsumen. Kasus ini sudah melanggar Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999, yang berisi hak mendasar bagi konsumen adalah hak atas keamanan produk, hak atas informasi, hak untuk memilih, hak didengar pendapat dan keluhannya, hak atas advokasi, pembinaan pendidikan, serta hak untuk mendapatkan ganti rugi. Pemerintah sebenarnya telah melansir bahwa klorin adalah zat yang berbahaya melalui Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 472/MENKES/PER/V?1996, tetapi tidak ada regulasi yang melarang adanya kandungan klorin dalam pembalut. hal ini sangat disayangkan sekali. 

Jika kita merujuk pada FDA (Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat), pemutihan pembalut bebas klorin yang dibolehkan oleh Food and Drug Administration (FDA) adalah elemental chlorine-free, yaitu pembalut yang bebas klorin tetapi bersifat elemental. Artinya, pembalut yang dipakai di Amerika adalah pembalut yang bebas klorin, tetapi memiliki kadar klorin yang sangat kecil sekali, yaitu 0,1 ppm sampai 1 ppm. Dari data diatas, kadar klorin dalam pembalut di Indonesia yang paling kecil adalah 6,05 ppm. Selisih nya sangat lah tidak sedikit. bisa kita bayangkan suah berapa banyak zat berbahaya yang masuk kedalam tubuh kita. 

Jadi, saya sangat berharap pemerintah segera mengeluarkan regulasi pelaranggan tersebut, sehingga tidak akan banyak keluhan dari konsumen, danperlindungan terhadap konsumen pun tetap terjaga, dan Indonesia tidak menjadi negara yang masyarakatnya penderita kanker serviks terbanyak. Pemerintah harus lebih tegas dalam hal ini, karena jika masih beredar kadar klorin dalam pembalut yang menyalahi aturan, itu berarti sudah menyalahi standar yang dari BPOM juga.

Sumber:
Suara.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar